KORUPSI DALAM
PERSPEKTTIF ISLAM
Pendahuluan
Manusia dalam mengejar
kehidupan materi kadang-kadang tidak mengindahkan aturan haram-halal. Yang lebih parah lagi mereka menyatakan bahwa
dalam kehidupan modern kalau ingin mau tidak mau harus bersentuhan dengan yang
haram. Di negara ini salah satu penyakit dan ancaman sosial yang sangat laten
adalah korupsi. Salah satu kenyataan yang secara
sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan oleh
banyak orang di Negeri ini bukan tidak mau menghindar dan bertobat, melainkan
jika tidak melakukannya rasanya tidak wajar dan tidak memperoleh tambahan yang
berarti dari yang dilakukannya. Dalam skala global, Indonesia memang
diperingkat sebagai Negara paling korup antara nomor satu dan nomor tiga di
dunia.[1]
Padahal
Islam telah mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan,
hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji. Tindakan kejahatan
penyelewengan dan penilepan harta milik publik apa yang dikenal sebagai
tindakan korupsi (corruption) merupakan tindakan yang menghasilkan uang haram.
Faktanya sekarang ini tindakan korupsi sudah banyak sekali pejabat-pejabat atau
petinggi Negara yang melakukannya bahkan dalam jumlah yang sangat besar.
Tindakan ini tentu saja merugikan orang lain.
Dengan demikian
kita perlu mengetahui apa sebenarnya korupsi itu? Bagaimana hukum korupsi dan
hukum memanfaatkan hasil korupsi ? dan apa hukuman bagi para pelaku korupsi?
Pembahasan
A.
Pengertian
Korupsi
Korupsi berasal dari
bahasa Latin (corruption=penyuapan;dari corrumpere=merusak).[2]
Korupsi merupakan perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang,
amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan
kelompoknya yang dapat merugikan Negara maupun pihak lain.[3]
Ada pendapat sementara para
ahli yang mengatakan bahwa korupsi adalah suatu sistem politik yang bisa
diarahkan oleh mereka yang berkuasa dengan tingkat ketepatan yang bisa
ditenggang.[4]
Secara harfiah, korupsi
berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Meskipun kurang tepat, korupsi
seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang
pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti suapan) agar ia melakukan
pelanggaran kewajibannya (abuse of power).”
Korupsi merupakan
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan atau bersama-sama beberapa orang
secara professional yang berkaitan dengan kewenangan atau jabatan dalam suatu
birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan departemen atau instansi terkait.
Lain halnya perbuatan mencuri yang adakalanya dilakukan langsung dalam bentuk
harta dan adakalanya pula dalam bentuk administrasi. Oleh karena itu, seseorang
yang melakukan pelanggaran bidang administrasi seperti memberikan laporan melebihi
kenyataan dana yang dikeluarkan merupakan jenis perilaku yang merugikan pihak
yang berkaitan dengan laporan yang dibuatnya. Perbuatan semacam ini jika
berkaitan dengan jabatan atau profesi dalam birokrasi jelas merugikan
departemen atau instansi terkait. Perbuatan dimaksud, disebut korupsi dan
pelaku akan dikenai hukuman pidana korupsi.[5]
Istilah korupsi di
Indonesia pada mulanya bersifat umum dan kemudian menjadi istilah hukum, yaitu sejak
dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang korupsi.
Konsideran (pertimbangan) peraturan tersebut menyebutkan, “Menimbang; bahwa
berhubungan dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh
khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja
untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.” Dalam
perkembangan selanjutnya berubah menjadi undang-undang, yaitu UU No 3 Tahun
1971 tentang korupsi dan yang terakhir sebagaimana dirumuskan dalam UU No 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang semuanya memiliki semangat
pemberantasan praktik korupsi melalui penjatuhan hukuman yang setimpal. Dari
konsideran hukum dan peraturan perundangan yang ada dapat ditarik kesimpulan
dan kategorisasi hukum bahwa suatu perbuatan sudah dapat disebut sebagai
perbuatan korupsi dengan terpenuhinya dua unsur. Unsur-unsur tersebut sebagai
berikut:
a). Setiap
perbuatan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
golongan, atau suatu badan, yang langsung atau tidak langsung menyebabkam
kerugian bagi keuangan atau perekonomian Negara, seperti praktik kolusi.
b). Setiap
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji dari keuangan
Negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara
atau daerah yang dengan menggunakan kekuasaan yang diamanatkan padanya oleh
karena jabatannya, baik langsung maupun tidak langsung membawa keuntungan atau
materil baginya.[6]
B.
Dalil
Larangan Korupsi
Pemilik mutlak terhadap
sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah milik Allah.
Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan
amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.[7]
Sehingga manusia sangat dianjurkan untuk menjaga hartanya dan dilarang mencari
nafkah atau rezeki dengan cara yang haram. Mencari rezeki yang halal adalah
wajib seperti sabda Nabi Muhammad saw (HR. Thabrani):
“Mencari rezeki yang halal adalah wajib
setelah kewajiban yang lain.”
Allah swt melarang
hambanya memakan harta atau hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui
pencurian, copet, rampok, pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam
kaitan ini, Allah swt berfirman dalam al-Qur`an:
wur
(#þqè=ä.ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Nä3oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
(#qä9ôè?ur
!$ygÎ/
n<Î)
ÏQ$¤6çtø:$#
(#qè=à2ù'tGÏ9
$Z)Ìsù
ô`ÏiB
ÉAºuqøBr&
Ĩ$¨Y9$#
ÉOøOM}$$Î/
óOçFRr&ur
tbqßJn=÷ès?
ÇÊÑÑÈ
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Rasulullah saw
bersabda:
“Allah melaknat orang yang menyuap
berikut orang yang menerima suap dan broker suap yang menjadi penghubung antara
keduanya.” (HR. Imam Ahmad).
C.
Macam
atau Pembagian Korupsi
Syed Hussein Alatas dalam Corruption Its Nature, Causes
and Functions membedakan tujuh tipologi korupsi yang berkembang selama ini:[8]
1) Transactive
corruption, yakni korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal-balik
antara pihak penyuap dan penerima suap demi keuntungan kedua belah pihak dan
dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
Tipologi ini umumnya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau
masyarakat dan pemerintah.
2) Extortive
corruption (korupsi yang memeras), yakni pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar mencegah kerugian
yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, dan hal-hal yang dihargainya.
3) Investive corruption, yakni korupsi dalam
bentuk pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan
keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibanyangkan akan diperoleh di masa
yang akan datang.
4) Supportive
corruption,
korupsi yang secara tidak langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam
bentuk lain untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
5) Nepostistic
corruption,
yakni korupsi yang menunjukkan tidak sahnya teman atau sanak famili untuk
memegang jabatan dalam pemerintahan atau perilaku yang memberi tindakan yang
mengutamakan dalam bentuk uang atau lainnya kepada teman atau sanak famili
secara bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.
6) Defensive
corruption,
yakni perilaku korban korupsi dengan pemerasan untuk mempertahankan diri.
George L. Yaney menjelaskan bahwa pada abad 18 dan 19, para petani Rusia
menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan mereka. Tipe ini bukan pelaku
korupsi, karena perbuatan orang yang diperas bukanlah korupsi. Hanya perbuatan
pelaku yang memeras sajalah yang disebut korupsi.
7) Autogenic corruption adalah korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya
hanya seorang diri.
D.
Hukum
Perbuatan Korupsi
Hukum Islam
disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang
hendak diwujudkan dengan pensyari’atan hukum tersebut ialah terpeliharanya
harta dari pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari
pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu,
larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara
keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan menggunakan harta
sebagai taruhan judi dan memberikannya kepada orang lain yang diyakini akan
menggunakannya dalam berbuat maksiat, kerena pemanfaatannya tidak sesuai dengan
kehendak Allah SWT, menjadikan kemaslahatan yang dituju dengan harta itu tidak
tercapai.
Syariat Islam bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia apa yang disebut sebagai
maqashidusy syari’ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah
terpeliharanya harta (hifdzul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan
penyelewengan. Hukum perbuatan korupsi, menurut pendapat ulama fiqih adalah
haram karena bertentangan dengan prinsip maqashidusy syari’ah. Keharaman
perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi antara lain
sebagai berikut:[9]
Pertama: perbuatan
korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan
keuangan Negara dan kepentingan publik (masyarakat) yang dikecam oleh Allah
SWT. dalam surat Ali Imran:161 dengan hukuman setimpal di akhirat.
Kedua: perbuatan
korupsi berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri
sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah
jabatan. Menghianati amanat adalah perbuatan dosa dan salah satu karakter
munafik yang dibenci Allah SWT. sehingga hukumannya haram (al-Anfaal: 27 dan
an-Nisa: 58).
Ketiga: perbuatan
korupsi untuk memperkaya diri dan orang lain dari harta Negara adalah perbuatan
dzalim, karena kekayaan Negara adalah harta publik yang berasal dari jerih
payah masyarakat termasuk kaum miskin dan rakyat kecil. Perbuatan dzalim ini
patut mendapat azab yang pedih (az-Zukhruf: 65).
Keempat: termasuk
kategori korupsi adalah tindak kolusi dengan memberikan fasilitas Negara kepada
seseorang yang tidak berhak karena deal-deal tertentu, seperti menerima suap
(pemberian) dari pihak yang diuntungkannya tersebut. Perbuatan ini sangat
dikutuk Nabi saw.
Rasulullah SAW,
bersabda:
“Allah melaknat orang yang menyuap dan
yang menerima suap.” Dalam riwayat lain disebutkan “dan perantaraannya” (HR
Ahmad).[10]
Hadiah berbeda dengan
suap. Perbedaan antara hadiah dengan suap adalah bahwa begitu memegang hadiah
si penerima hadiah serta-merta langsung menjadi miliknya. Sementara penerima
suap tidak secara otomatis menjadi pemilik barang tersebut saat menerimanya.
Perbedaan lainnya, suap
diawali dengan kepentingan dan didorong oleh kebutuhan, sementara hadiah
diberikan tanpa unsur kepentingan atau tendensi apapun. Selain itu, penyuap
berhak meminta kembali barang suapannya meskipun telah digunakan, sementara
hadiah tidak boleh diminta kembali, entah itu belum maupun sudah digunakan
penerimanya.[11]
E.
Hukum
Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah memanfaatkan
mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan
ibadah, sosial, dan sebagainya. Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan
dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang
dihasilkan dengan cara-cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari
tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya.
Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama.[12]
Yang dimaksud uang
haram adalah uang yang diperoleh melalui jalan atau cara atau pekerjaan yang
dilarang oleh agama, seperti mencuri, merampok, korupsi, manipulasi, dan
sebagainya. Sebab uang adalah benda, di mana benda tidak dapat disifati atau
dihukumi dengan halal atau haram. Yang dapat disifati atau dihukumi dengan
halal atau haram adalah perbuatannya.[13]
Dalam hal ini, ulama
fiqih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh secara ilegal, tidak sah
dan haram adalah haram, juga sebab pada prinsipnya harta tersebut bukan hak
miliknya yang sah sehingga tidak berhak untuk menggunakannya meskipun di jalan
kebaikan. Sebagaimana ketentuan fiqih yang menyatakan, ”Setiap sesuatu yang
haram mengambilnya maka haram pula memberikan atau memanfaatkannya.”
Pendapat dan ketentuan ini juga didukung oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan harta
tersebut harus dikembalikan kepada kepemilikan publik atau Negara. Selama suatu
perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan pemanfaatan
hasilnya. Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya
boleh dimanfaatkan. Dan selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya,
selama itu pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya
yang sah.
Jika ulama fiqih
sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara
korupsi, maka mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan
hasil korupsi tersebut. Misalnya, hukum shalat atau haji yang dilaksanakan
dengan menggunakan harta hasil korupsi. Mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, mazhab
Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan
cara yang batil (menipu atau korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai
dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap
berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang
sah. Demikian juga pendapat mereka tentang haji dengan uang yang diperoleh
secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia berdosa menggunakan
uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh
terpenuhinya rukun dan syarat amalam dimaksud.
Akan tetapi, menurut
Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak sah,
karena menutup aurat dengan bahan suci adalah salah satu syarat sah shalat.
Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan shalat memakai
pakaian bernajis. Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. oleh karena itu tidak pantas dilakukan dengan menggunakan
kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah.
Menurut Iman Ahmad bin Hanbal,
haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. Ia memperkuat
pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan
tidak menerima kecuali yang baik (HR. at-Tabrani). Pada kesempatan lain Nabi
Muhammad SAW bersabda:”jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta
yang halal, maka ketika ia mulai membacakan talbiyah datang seruan dari langit:
Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia.
Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak
dicampuri dosa. Sebaliknya jika pergi dengan harta yang haram, lalu ia
mengucapkan talbiyah maka datang seruan dari langit: Tidak diterima kunjunganmu
dan kamu tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka
hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima).” (HR. at-Tabrani). Atas
dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan
tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi.
Ibadah dan kegiatan
sosial bukan sebagai sarana penyucian uang haram (money laundring) dan bukan
sarana pencitraan diri yang korup sebagai manusia suci.[14]
F.
Hukum
Pidana Korupsi
Ajaran islam sangat
menjunjung tinggi kesucian hidup dan harta benda. Oleh karena itu bagi siapapun
yang melakukan tindak pidana pasti ada hukumnya. Tujuan dari hukuman tersebut
adalah untuk memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan tersebut sehingga
bisa diciptakan rasa perdamaian di msyarakat.[15]
Para ulama fiqih telah
membagi tindak pidana islam kepada tiga kelompok yaitu tindak pidana hudud,
tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir yang hukumannya diserahkan
kepada hakim menurut kemaslahatan yang semestinya dan dapat lebih ringan, sama
maupun lebih berat dari hukuman hudud bergantung kepada kasus dan
kemudharatannya. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana
takzir meskipun secara umum ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hududnya
berupa potong tangan dengan memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu. Oleh
karena itu, penentuan hukum takzir korupsi, baik jenis, bentuk dan beratnya
dipercayakan kepada hakim yang tetap mengacu kepada maqashidusy syariah
sehingga dapat memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya.
Sebagai ilustrasi hukuman korupsi, penerapan hukuman takzir dalam sejarah
peradaban Islam sebagai mana dikemukakan oleh Dr. Abdul Qadir Audah ahli pidana
Islam Mesir dalam Tasyri Jina’i-nya dibagi menjadi dua bentuk yaitu:[16]
a)
Takzir ‘alal
ma’ashi (terhadap perbuatan maksiat), dan
b)
Takzir ‘ala
mashlahah ‘amah (terhadap pelanggaran kepentingan umum).
Dalam memberikan
definisi takzir ini Ibnu Mansur menjelaskan bahwa takzir adalah satu jenis
hukuman yang tidak termasuk had berfungsi untuk mencegah pelaku tindak pidana
dari rutinitas kejahatan, juga untuk menolak pelaku dari berbuat kemaksiatan.[17]
Menurut Audah, Abdul
Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi terdapat beberapa bentuk hukuman takzir
sesuai dengan implementasi sejarah Islam yang dapat dikenakan pada pelaku
pidana takzir sesuai peringkatnya, situasi dan kondisi, dan tidak berlaku
secara baku termasuk korupsi yaitu sebagai berikut:[18]
1) Hukuman
peringatan, ancaman, teguran, celaan, dampratan, deraan atau pukulan.
2) Hukuman
penjara, baik bersifat sementara (penahanan) maupun penjara yang bersifat
tetap.
3) Hukuman
penyaliban sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap pelaku tindak
keonaran dan pembangkangan.
4) Hukuman
mati bagi provokator, mata-mata, penyebar fitnah, kejahatan dan penyimpangan
seksual.
5) Hukuman
pengasingan atau pembuangan
6) Hukuman
publikasi Daftar Orang-orang Tercela (DOT) seperti terhadap pelaku kejahatan
kesaksian palsu, kejahatan bisnis dan sebagainya
7) Hukuman
pencopotan dari jabatan
8) Hukuman
penyitaan harta dan sanksi berupa denda finansial.
Dalam hal ini menurut
pemakalah lebih condong kepada bentuk yang ke-2, yaitu pelaku korupsi mendapat
hukuman penjara. Dalam hukuman ini penjara bisa bersifat tetap maupun hanya
sementara, tapi apabila pelaku sudah keterlaluan dalam melakukan tindak pidana
korupsi, maka penentuan hukuman tersebut diserahkan kepada hakim, yang
berpegang pada maqashidusi syari’ah.
G.
Sebab
Terjadinya Korupsi
Hal-hal yang menyebabkan seseorang
melakukan tindakan korupsi adalah:
a) Kondisi
sosial ekonomi masih rawan, sehingga orang melakukan korupsi dengan motif
mempertahankan hidupnya. Tetapi lama kelamaan motif ini bergeser menjadi motif
ingin memperoleh kemewahan hidup.
b) Kelemahan
mekanisme organisasi dan karena tidak dilaksanakannya fungsi pengawasan secara
wajar. Hal ini menurut Baharuddin Lopa akan mendorong seseorang yang tidak kuat
imannya akan melakukan korupsi.
c) Penegakan
hukum yang tidak konsisten atau penegkan hukum yang masih lemah.
d) Gagalnya
pendidikan agama dan etika.
Dengan demikian, faktor
penyebab korupsi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan pelaku
korupsi sebagai pemegang amanah, sedangkan faktor eksternal berupa sistem
pemerintahan dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga
bisa membuka peluang terjadinya korupsi.[19]
H.
Akibat
Korupsi
Tidaklah Allah melarang sesuatu,
melainkan di balik itu terkandung keburukan dan akibat bagi pelakunya. Begitu
pula dengan perbuatan korupsi, tidak luput dari keburukan diantaranya :
1)
Pelaku korupsi
akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat.
2)
Perbuatan korupsi
menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
3)
Bagi orang yang
mati dalam keadaan membawa harta korupsi, ia tidak mendapat jaminan atau
terhalang masuk surga.
4)
Alloh tidak
menerima shadaqah seseorang dari harta korupsi, sebagaimana dalam sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا
صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak
diterima dari harta korupsi.”
5)
Harta hasil
korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat
menghalangi terkabulnya do’a.[20]
I.
Upaya
Penanggulangan Korupsi[21]
1.
Preventif.
a. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di
instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan.
b.
Mengusahakan perbaikan penghasilan
(gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan
kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan
integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan.
c.
Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan
dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan
pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat
karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan Negara.
d.
Bahwa teladan dan pelaku pimpinan
dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan
kebijakan.
e.
Menumbuhkan pemahaman dan
kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab
wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
f.
Hal yang tidak kalah pentingnya
adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan
pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan
tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
2.
Represif.
a. Perlu penanyangan
wajah koruptor di layar tv
b.
Herregistrasi (pencatatan ulang)
terhadap kekayaan pejabat.
J. Analisis
Menurut analisis
kelompok kami sangatlah tepat dengan adanya larangan korupsi. Karena korupsi
merupakan suatu perbuatan haram. Manusia dianjurkan untuk menjaga hartanya dan
dilarang mencari nafkah atau rezeki dengan cara haram.
Dalam hal ini menurut
pemakalah pelaku korupsi mendapat hukuman penjara. Dalam hukuman ini penjara
bisa bersifat tetap maupun hanya sementara, tapi apabila pelaku sudah
keterlaluan dalam melakukan tindak pidana korupsi, maka penentuan hukuman
tersebut diserahkan kepada hakim, yang berpegang pada maqashidusi
syari’ah.
Korupsi juga merupakan
suatu hal yang curang. Seorang yang melakukan korupsi sama juga dengan seorang
penghianat, karena tidak bisa mengemban amanat dan melalaikan sumpah jabatan.
Jadi, dengan adanya dalil mengenai dilarangnya korupsi, mungkin seseorang dapat
menjaga harta yang menjadi kepentingan masyarakat banyak.
Penutup
Kesimpulan
Korupsi merupakan
perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat, dan sebagainya
untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat
merugikan Negara maupun pihak lain.
Allah swt melarang
hambanya memakan harta atau hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui
pencurian, copet, rampok, pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Tindak
pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana takzir meskipun secara umum
ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hududnya berupa potong tangan dengan
memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu.
Takzir adalah satu
jenis hukuman yang tidak termasuk had berfungsi untuk mencegah pelaku tindak
pidana dari rutinitas kejahatan, juga untuk menolak pelaku dari berbuat
kemaksiatan.
Daftar Pustaka
Ritonga
Rahman, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve,1997
Rachman
Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta: Mizan, 2006
Gie
Kwik Kian, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999
Utomo
Setiawan Budi, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta:
Gema Insani Press, 2003
Ali
Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Syahatah
Husain Husain, Suap dan Korupsi dalam Perspektif Syariah, Jakarta:
Amzah, 2008
Irfan
Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih
Jinayah, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009
Hafidhuddin
Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2004
Rahman
Abdur, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992
Chuzaimah,
Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995
Mustofa
Farid, Soal-Jawab Agama, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001
[1] Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 523
[2] Rahman Ritonga, Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 974
[3] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 19-20
[4] Budhi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid (Jakarta:
Mizan, 2006), hlm. 1673
[5] Zainuddin Ali, Hukum
Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 71-72
[6] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm. 20
[7] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif (Jakarta: Gema Insani,
2004), hlm. 55
[9] http://blog.fajrifm.com/korupsi.html,
tgl 20 april 2011.
[10] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm. 20-21
[11] Husain Husain Syahatah, Suap dan Korupsi dalam Perspektif Syariah
(Jakarta: Amzah, 2008), hlm.15
[12] Rahman Ritonga, Dahlan, Ensiklopedi,
hlm. 975
[13] Chuzaimah, Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995), hlm. 138
[14] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm.
22
[15] Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1992), hlm. 63
[16] Farid Mustofa, Soal-Jawab
Agama (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm. 24
[17] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam
Perspektif Fiqih Jinayah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI, 2009), hlm. 151
[18] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm. 22-23
[19] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana , hlm. 46-47
[20] http://smp3smi.wordpress.com/2009/06/03/korupsi-dalam-pandangan-syariat/,
tgl 20 april 2011.
[21] http://podoluhur.blogspot.com/2010/08/hadis-larangan-korupsi.html,
tgl 20 april 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar