Jumat, 30 Januari 2015

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM


KORUPSI DALAM PERSPEKTTIF ISLAM

Pendahuluan
Manusia dalam mengejar kehidupan materi kadang-kadang tidak mengindahkan aturan haram-halal. Yang  lebih parah lagi mereka menyatakan bahwa dalam kehidupan modern kalau ingin mau tidak mau harus bersentuhan dengan yang haram. Di negara ini salah satu penyakit dan ancaman sosial yang sangat laten adalah korupsi. Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan oleh banyak orang di Negeri ini bukan tidak mau menghindar dan bertobat, melainkan jika tidak melakukannya rasanya tidak wajar dan tidak memperoleh tambahan yang berarti dari yang dilakukannya. Dalam skala global, Indonesia memang diperingkat sebagai Negara paling korup antara nomor satu dan nomor tiga di dunia.[1]
Padahal Islam telah mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji. Tindakan kejahatan penyelewengan dan penilepan harta milik publik apa yang dikenal sebagai tindakan korupsi (corruption) merupakan tindakan yang menghasilkan uang haram. Faktanya sekarang ini tindakan korupsi sudah banyak sekali pejabat-pejabat atau petinggi Negara yang melakukannya bahkan dalam jumlah yang sangat besar. Tindakan ini tentu saja merugikan orang lain.
Dengan demikian kita perlu mengetahui apa sebenarnya korupsi itu? Bagaimana hukum korupsi dan hukum memanfaatkan hasil korupsi ? dan apa hukuman bagi para pelaku korupsi?







Pembahasan

A.    Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin (corruption=penyuapan;dari corrumpere=merusak).[2] Korupsi merupakan perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat merugikan Negara maupun pihak lain.[3]
Ada pendapat sementara para ahli yang mengatakan bahwa korupsi adalah suatu sistem politik yang bisa diarahkan oleh mereka yang berkuasa dengan tingkat ketepatan yang bisa ditenggang.[4]
Secara harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Meskipun kurang tepat, korupsi seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya (abuse of power).”
Korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan atau bersama-sama beberapa orang secara professional yang berkaitan dengan kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan departemen atau instansi terkait. Lain halnya perbuatan mencuri yang adakalanya dilakukan langsung dalam bentuk harta dan adakalanya pula dalam bentuk administrasi. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan pelanggaran bidang administrasi seperti memberikan laporan melebihi kenyataan dana yang dikeluarkan merupakan jenis perilaku yang merugikan pihak yang berkaitan dengan laporan yang dibuatnya. Perbuatan semacam ini jika berkaitan dengan jabatan atau profesi dalam birokrasi jelas merugikan departemen atau instansi terkait. Perbuatan dimaksud, disebut korupsi dan pelaku akan dikenai hukuman pidana korupsi.[5]
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya bersifat umum dan kemudian menjadi istilah hukum, yaitu sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang korupsi. Konsideran (pertimbangan) peraturan tersebut menyebutkan, “Menimbang; bahwa berhubungan dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.” Dalam perkembangan selanjutnya berubah menjadi undang-undang, yaitu UU No 3 Tahun 1971 tentang korupsi dan yang terakhir sebagaimana dirumuskan dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang semuanya memiliki semangat pemberantasan praktik korupsi melalui penjatuhan hukuman yang setimpal. Dari konsideran hukum dan peraturan perundangan yang ada dapat ditarik kesimpulan dan kategorisasi hukum bahwa suatu perbuatan sudah dapat disebut sebagai perbuatan korupsi dengan terpenuhinya dua unsur. Unsur-unsur tersebut sebagai berikut:
a).  Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, golongan, atau suatu badan, yang langsung atau tidak langsung menyebabkam kerugian bagi keuangan atau perekonomian Negara, seperti praktik kolusi.
b). Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji dari keuangan Negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah yang dengan menggunakan kekuasaan yang diamanatkan padanya oleh karena jabatannya, baik langsung maupun tidak langsung membawa keuntungan atau materil baginya.[6]
B.     Dalil Larangan Korupsi
Pemilik mutlak terhadap sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah milik Allah. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.[7] Sehingga manusia sangat dianjurkan untuk menjaga hartanya dan dilarang mencari nafkah atau rezeki dengan cara yang haram. Mencari rezeki yang halal adalah wajib seperti sabda Nabi Muhammad saw (HR. Thabrani):
“Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain.”
Allah swt melarang hambanya memakan harta atau hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui pencurian, copet, rampok, pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam kaitan ini, Allah swt berfirman dalam al-Qur`an:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Rasulullah saw bersabda:
“Allah melaknat orang yang menyuap berikut orang yang menerima suap dan broker suap yang menjadi penghubung antara keduanya.” (HR. Imam Ahmad).

C.    Macam atau Pembagian Korupsi
Syed Hussein Alatas dalam Corruption Its Nature, Causes and Functions membedakan tujuh tipologi korupsi yang berkembang selama ini:[8]
1)   Transactive corruption, yakni korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak penyuap dan penerima suap demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
Tipologi ini umumnya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah.
2)   Extortive corruption (korupsi yang memeras), yakni pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, dan hal-hal yang dihargainya.
3)   Investive corruption, yakni korupsi dalam bentuk pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibanyangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
4)   Supportive corruption, korupsi yang secara tidak langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
5)   Nepostistic corruption, yakni korupsi yang menunjukkan tidak sahnya teman atau sanak famili untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau perilaku yang memberi tindakan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau lainnya kepada teman atau sanak famili secara bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.
6)   Defensive corruption, yakni perilaku korban korupsi dengan pemerasan untuk mempertahankan diri. George L. Yaney menjelaskan bahwa pada abad 18 dan 19, para petani Rusia menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan mereka. Tipe ini bukan pelaku korupsi, karena perbuatan orang yang diperas bukanlah korupsi. Hanya perbuatan pelaku yang memeras sajalah yang disebut korupsi.
7)   Autogenic corruption adalah korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.



D.    Hukum Perbuatan Korupsi
Hukum Islam disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan pensyari’atan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan menggunakan harta sebagai taruhan judi dan memberikannya kepada orang lain yang diyakini akan menggunakannya dalam berbuat maksiat, kerena pemanfaatannya tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT, menjadikan kemaslahatan yang dituju dengan harta itu tidak tercapai.
Syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia apa yang disebut sebagai maqashidusy syari’ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Hukum perbuatan korupsi, menurut pendapat ulama fiqih adalah haram karena bertentangan dengan prinsip maqashidusy syari’ah. Keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi antara lain sebagai berikut:[9]
Pertama: perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan Negara dan kepentingan publik (masyarakat) yang dikecam oleh Allah SWT. dalam surat Ali Imran:161 dengan hukuman setimpal di akhirat.
Kedua: perbuatan korupsi berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan. Menghianati amanat adalah perbuatan dosa dan salah satu karakter munafik yang dibenci Allah SWT. sehingga hukumannya haram (al-Anfaal: 27 dan an-Nisa: 58).
Ketiga: perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dan orang lain dari harta Negara adalah perbuatan dzalim, karena kekayaan Negara adalah harta publik yang berasal dari jerih payah masyarakat termasuk kaum miskin dan rakyat kecil. Perbuatan dzalim ini patut mendapat azab yang pedih (az-Zukhruf: 65).
Keempat: termasuk kategori korupsi adalah tindak kolusi dengan memberikan fasilitas Negara kepada seseorang yang tidak berhak karena deal-deal tertentu, seperti menerima suap (pemberian) dari pihak yang diuntungkannya tersebut. Perbuatan ini sangat dikutuk Nabi saw.
Rasulullah SAW, bersabda:
“Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” Dalam riwayat lain disebutkan “dan perantaraannya” (HR Ahmad).[10]
Hadiah berbeda dengan suap. Perbedaan antara hadiah dengan suap adalah bahwa begitu memegang hadiah si penerima hadiah serta-merta langsung menjadi miliknya. Sementara penerima suap tidak secara otomatis menjadi pemilik barang tersebut saat menerimanya.
Perbedaan lainnya, suap diawali dengan kepentingan dan didorong oleh kebutuhan, sementara hadiah diberikan tanpa unsur kepentingan atau tendensi apapun. Selain itu, penyuap berhak meminta kembali barang suapannya meskipun telah digunakan, sementara hadiah tidak boleh diminta kembali, entah itu belum maupun sudah digunakan penerimanya.[11]

E.     Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadah, sosial, dan sebagainya. Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama.[12]
Yang dimaksud uang haram adalah uang yang diperoleh melalui jalan atau cara atau pekerjaan yang dilarang oleh agama, seperti mencuri, merampok, korupsi, manipulasi, dan sebagainya. Sebab uang adalah benda, di mana benda tidak dapat disifati atau dihukumi dengan halal atau haram. Yang dapat disifati atau dihukumi dengan halal atau haram adalah perbuatannya.[13]
Dalam hal ini, ulama fiqih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh secara ilegal, tidak sah dan haram adalah haram, juga sebab pada prinsipnya harta tersebut bukan hak miliknya yang sah sehingga tidak berhak untuk menggunakannya meskipun di jalan kebaikan. Sebagaimana ketentuan fiqih yang menyatakan, ”Setiap sesuatu yang haram mengambilnya maka haram pula memberikan atau memanfaatkannya.” Pendapat dan ketentuan ini juga didukung oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan harta tersebut harus dikembalikan kepada kepemilikan publik atau Negara. Selama suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan pemanfaatan hasilnya. Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Dan selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
Jika ulama fiqih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi, maka mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut. Misalnya, hukum shalat atau haji yang dilaksanakan dengan menggunakan harta hasil korupsi. Mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu atau korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat mereka tentang haji dengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat amalam dimaksud.
Akan tetapi, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan suci adalah salah satu syarat sah shalat. Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan shalat memakai pakaian bernajis. Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. oleh karena itu tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah.
Menurut Iman Ahmad bin Hanbal, haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. Ia memperkuat pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. at-Tabrani). Pada kesempatan lain Nabi Muhammad SAW bersabda:”jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai membacakan talbiyah datang seruan dari langit: Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia. Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak dicampuri dosa. Sebaliknya jika pergi dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiyah maka datang seruan dari langit: Tidak diterima kunjunganmu dan kamu tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima).” (HR. at-Tabrani). Atas dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi.
Ibadah dan kegiatan sosial bukan sebagai sarana penyucian uang haram (money laundring) dan bukan sarana pencitraan diri yang korup sebagai manusia suci.[14]




F.     Hukum Pidana Korupsi
Ajaran islam sangat menjunjung tinggi kesucian hidup dan harta benda. Oleh karena itu bagi siapapun yang melakukan tindak pidana pasti ada hukumnya. Tujuan dari hukuman tersebut adalah untuk memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan tersebut sehingga bisa diciptakan rasa perdamaian di msyarakat.[15]
Para ulama fiqih telah membagi tindak pidana islam kepada tiga kelompok yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir yang hukumannya diserahkan kepada hakim menurut kemaslahatan yang semestinya dan dapat lebih ringan, sama maupun lebih berat dari hukuman hudud bergantung kepada kasus dan kemudharatannya. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana takzir meskipun secara umum ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hududnya berupa potong tangan dengan memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, penentuan hukum takzir korupsi, baik jenis, bentuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang tetap mengacu kepada maqashidusy syariah sehingga dapat memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya. Sebagai ilustrasi hukuman korupsi, penerapan hukuman takzir dalam sejarah peradaban Islam sebagai mana dikemukakan oleh Dr. Abdul Qadir Audah ahli pidana Islam Mesir dalam Tasyri Jina’i-nya dibagi menjadi dua bentuk yaitu:[16]
a)                            Takzir ‘alal ma’ashi (terhadap perbuatan maksiat), dan
b)                            Takzir ‘ala mashlahah ‘amah (terhadap pelanggaran kepentingan umum).
Dalam memberikan definisi takzir ini Ibnu Mansur menjelaskan bahwa takzir adalah satu jenis hukuman yang tidak termasuk had berfungsi untuk mencegah pelaku tindak pidana dari rutinitas kejahatan, juga untuk menolak pelaku dari berbuat kemaksiatan.[17]
Menurut Audah, Abdul Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi terdapat beberapa bentuk hukuman takzir sesuai dengan implementasi sejarah Islam yang dapat dikenakan pada pelaku pidana takzir sesuai peringkatnya, situasi dan kondisi, dan tidak berlaku secara baku termasuk korupsi yaitu sebagai berikut:[18]
1)   Hukuman peringatan, ancaman, teguran, celaan, dampratan, deraan atau pukulan.
2)   Hukuman penjara, baik bersifat sementara (penahanan) maupun penjara yang bersifat tetap.
3)   Hukuman penyaliban sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap pelaku tindak keonaran dan pembangkangan.
4)   Hukuman mati bagi provokator, mata-mata, penyebar fitnah, kejahatan dan penyimpangan seksual.
5)   Hukuman pengasingan atau pembuangan
6)   Hukuman publikasi Daftar Orang-orang Tercela (DOT) seperti terhadap pelaku kejahatan kesaksian palsu, kejahatan bisnis dan sebagainya
7)   Hukuman pencopotan dari jabatan
8)   Hukuman penyitaan harta dan sanksi berupa denda finansial.
Dalam hal ini menurut pemakalah lebih condong kepada bentuk yang ke-2, yaitu pelaku korupsi mendapat hukuman penjara. Dalam hukuman ini penjara bisa bersifat tetap maupun hanya sementara, tapi apabila pelaku sudah keterlaluan dalam melakukan tindak pidana korupsi, maka penentuan hukuman tersebut diserahkan kepada hakim, yang berpegang pada maqashidusi syari’ah.  



G.    Sebab Terjadinya Korupsi
Hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi adalah:
a)    Kondisi sosial ekonomi masih rawan, sehingga orang melakukan korupsi dengan motif mempertahankan hidupnya. Tetapi lama kelamaan motif ini bergeser menjadi motif ingin memperoleh kemewahan hidup.
b)   Kelemahan mekanisme organisasi dan karena tidak dilaksanakannya fungsi pengawasan secara wajar. Hal ini menurut Baharuddin Lopa akan mendorong seseorang yang tidak kuat imannya akan melakukan korupsi.
c)    Penegakan hukum yang tidak konsisten atau penegkan hukum yang masih lemah.
d)   Gagalnya pendidikan agama dan etika.
Dengan demikian, faktor penyebab korupsi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan pelaku korupsi sebagai pemegang amanah, sedangkan faktor eksternal berupa sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga bisa membuka peluang terjadinya korupsi.[19]

H.    Akibat Korupsi
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan akibat bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi, tidak luput dari keburukan diantaranya :
1)        Pelaku korupsi akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat.
2)        Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
3)        Bagi orang yang mati dalam keadaan membawa harta korupsi, ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga.
4)        Alloh tidak menerima shadaqah seseorang dari harta korupsi, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta korupsi.”
5)        Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a.[20]  


I.       Upaya Penanggulangan Korupsi[21]
1.              Preventif.
a.    Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan.
b.    Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan.
c.    Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan Negara.
d.   Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
e.    Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
f.     Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
2.              Represif.
a.    Perlu penanyangan wajah koruptor di layar tv
b.    Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

J.      Analisis
Menurut analisis kelompok kami sangatlah tepat dengan adanya larangan korupsi. Karena korupsi merupakan suatu perbuatan haram. Manusia dianjurkan untuk menjaga hartanya dan dilarang mencari nafkah atau rezeki dengan cara haram.
Dalam hal ini menurut pemakalah pelaku korupsi mendapat hukuman penjara. Dalam hukuman ini penjara bisa bersifat tetap maupun hanya sementara, tapi apabila pelaku sudah keterlaluan dalam melakukan tindak pidana korupsi, maka penentuan hukuman tersebut diserahkan kepada hakim, yang berpegang pada maqashidusi syari’ah. 
Korupsi juga merupakan suatu hal yang curang. Seorang yang melakukan korupsi sama juga dengan seorang penghianat, karena tidak bisa mengemban amanat dan melalaikan sumpah jabatan. Jadi, dengan adanya dalil mengenai dilarangnya korupsi, mungkin seseorang dapat menjaga harta yang menjadi kepentingan masyarakat banyak.




Penutup
Kesimpulan
Korupsi merupakan perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat merugikan Negara maupun pihak lain.
Allah swt melarang hambanya memakan harta atau hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui pencurian, copet, rampok, pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana takzir meskipun secara umum ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hududnya berupa potong tangan dengan memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu.
Takzir adalah satu jenis hukuman yang tidak termasuk had berfungsi untuk mencegah pelaku tindak pidana dari rutinitas kejahatan, juga untuk menolak pelaku dari berbuat kemaksiatan.

















Daftar Pustaka

Ritonga Rahman, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve,1997
Rachman Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta: Mizan, 2006
Gie Kwik Kian, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999
Utomo Setiawan Budi, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
Ali Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Syahatah Husain Husain, Suap dan Korupsi dalam Perspektif Syariah, Jakarta: Amzah, 2008
Irfan Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009
Hafidhuddin Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2004
Rahman Abdur, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992
Chuzaimah, Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Mustofa Farid, Soal-Jawab Agama, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001




[1] Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 523
[2] Rahman Ritonga, Dahlan,  Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 974
[3] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 19-20
[4] Budhi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid (Jakarta: Mizan, 2006), hlm. 1673
[5] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 71-72
[6] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm. 20
[7] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 55
[10] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm. 20-21
[11] Husain Husain Syahatah, Suap dan Korupsi dalam Perspektif Syariah (Jakarta: Amzah, 2008), hlm.15
[12] Rahman Ritonga, Dahlan, Ensiklopedi, hlm. 975
[13] Chuzaimah, Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 138
[14] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm. 22
[15] Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm. 63
[16] Farid Mustofa, Soal-Jawab Agama (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm. 24
[17] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 151
[18] Setiawan Budi Utomo, Fiqih, hlm. 22-23
[19] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana , hlm. 46-47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar