PENDAHULUAN
Seperti yang kita tahu,ilmu pengetahuan
senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.hingga awal abad ke 21 ini telah
bermunculan ribuan ilmu pengetahuan yang mana di antaranya membahas masalah
sosiologi,dan dalam makalah kali ini akan di spesifikasikan lagi yakni
sosiologi pendidikan terkait dengan perspektif dan paradigmanya.perspektif dan
paradigma sosiologi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun,
merekonstruksi,dan mengembangkan dunia pendidikan.pendidikan bukan sekedar
proses transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik melainkan juga proses
pembelajaran sosialisasi para peserta didik dalam ruang lingkup yang kecil.para
sosiolog telah menawarakn alternatif yang sangat bermanfaat bagi kelanjutan
progresivitas pendidikan di abad ilmu pengetahuan ini.sosiologi pendidikn hadir
untuk mengembangkan pendidikan melalui pendekatan sosiologi.maka dalam makalah
ini akan di bahas perspektif dan paradigma sosiologi pendidikan beserta teori-teori
yang berorientasi padanya.
PEMBAHASAN
PERSPEKTIF DAN
PARADIGMA PENDIDIKAN
A.
Perspektif
Sosiologi Pendidikan
Secara etimologi perspektif
merupakan pengharapan, peninjauan. Sehingga perspektif sosiologi pendidikan
dapat dirumuskan sebagai tinjauan atas pendidikan melalui pendekatan sosiologi.
Sosiologi pendidikan memiliki perspektif yang beragam, dimana dalam
pembagiannya akan diperlihatkan perbedaan sosiologi pendidikan yang berorientasi
pada dimensi kajian makro dengan teori-teori yang berpayung pada dimensi kajian makro serta pihak sosiologi pendidikan
yang berpayung di dalam perspektif mikro.
a.
Perspektif
Makro.
Perspektif makro merupakan
tinjauan yang mana menguji masyarakatnya/institusi
pendidikan/kelompok/komunitas guru/nilai yang dikembangkan oleh masyarakat. Menggunakan
perspektif positivistic dengan tujuan menjelaskan realita/data (explanation
purpose) segala penjelasan dicari ditengah realitas masyarakat, organisasi dan
institusi sosial sebagai fakta sosial yang berada
di luar individu. Fakta sosialnya bersifat memaksa dan menekan individu untuk
mengadopsi.Pengabaian terhadap fakta sosial bisa mengakibatkan fakta social
tertentu atau dapat dikatakan sebagai individu yang berperilaku menyimpang(deviance).
Perspektif sosiologi
pendidikan juga dipisahkan antara mereka yang memilih penekanan pada ranah
objektif dengan mereka yang memilih ranah subjektif. Mereka yang memilih
pendekatan ranah objektif melihat data atau realitas dengan pandangan bebas
nilai. Penjelasan dilakukan dengan melihat data di
luar individu atau mencari penjelasan di dunia objektif (objective realm). Oleh
karena pendidikan objektif ini lebih dekat pada level kajian makro. [1]
Sejumlah teori yang
berpayung pada ranah kajian makro seperti teori structural fungsional,
structural konflik, Marxian dan teori dependencia
cenderung melihat bagaimana pendidikan di organisasikan, institusi pendidikan
di bentuk, kultur sekolah disosialisasikan dan system
pendidikan dikembangkan.
b.
Perspektif
Mikro
Perspektif mikro merupakan
tinjauan, upaya memahami fenomena data dan informasi, juga realitas kehidupan
individu. Realitas pendidikan dikaji dari ranah subjektif pada tataran individu
yang meliputi konstruk, persepsi, penafsiran, dan pemaknaan individu terhadap
dunia pendidikan. Menekankan pada dunia, makna dan penafsiran individu terhadap
pendidikan. Sebagai contoh, makna atau penafsiran yang diberikan oleh
guru/murid/pakar pendidikan terhadap masalah pendidikan.
Kajian sosiologi pendidikan perspektif mikro, mencari pemaknaan
masalah pendidikan ke dunia makna, kemajuan dan kemunduran, keberhasilan dan
kegagalan dalam pendidikan. Oleh teori-teori yang menekankan pada ranah mikro
seperti perspektif konstruksionis, interaksionisme simbolik, fenomenologi,
dramaturgi, feminisme, dan lain-lain.
B.
Paradigma
Baru Pendidikan
Dalam dunia sosiologi, terdapat
beberapa paradigma, antara lain paradigma fakta social (social paradigm),
paradigma definisi social (social definition paradigma) dan paradigm
perilaku social (behaviorism paradigm).
Sebelum dijelaskan dari
masing-masing paradigma, akan terlebih dahulu dijelaskan pengertian paradigma dan
perkembangannya dalam dunia pendidikan dari selanjutnya akan diuraikan lebih
detail dua paradigma yang sangat popular dalam dunia pendidikan, yaitu paradigma
perilaku social atau behaviourisme dan perspektif konstruksionisme dan social
cognitive yang berada dalam lingkup paradigm definisi social.
1.
Pengertian
Paradigma dan Perkembangannya dalam Pendidikan
Istilah paradigma populer dari
pemikiran Thomas Kuhn (1970) dalam bukunya The Structure of Scientifik
Rrevolution ketika menjelaskan Revolusi ilmu pengetahuan. Dimana ilmu
pengetahuan yang berkembang dan diakui sebagai sebuah paradigma yang awalnya
diyakini sebagai kebenaran dan dijadikan sebagai awal masyarakat dalam
merumuskan dan cara menjawab suatu pertanyaan. Namun, sejalan dengan
perkembangan dan perubahan masyarakat, apa yang di yakini kebenaran itu
mengalami kegoncangan dan kekacauan karena dianggap tidak lagi mampu menjawab
persoalan yang muncul. Akibatnya timbul krisis karena validitas paradigm lama
benar-benar tidak lagi bisa dipertahankan. Setelah terjadi revolusi akan
ditemukan teori baru, dan dari sinilah dimulai munculnya paradigma baru.
Paradigma adalah cara seseorang memandang kenyataan dalam
kehidupan. Ritzer (1983) member pengertian paradigm sebagai cara bertanya, cara
menjawab, menemukan masalah dan memecahkannya.
Menurut Ritzer, ada 3 paradigma dalam ilmu social, yaitu:
a. Paradigma fakta social yang berakar pada pemikiran Emile Durkheim
dan terkenal dengan perspektif Durkheiman.
Paradigma ini mendasarkan pada filsafat positivism dari Auguste
Comte yang menyatakan segala sesuatu serba terukur dan berkembang mengikuti
hukum sebab akibat. Kehidupan ini
dibangun menggunakan hukum dan logika “jika-maka”. Tidak ada gfejala yang tidak
bisa dijelaskan, sebab gejala yang tidak bisa dijelaskan diartikan tidak ada.
Dalam paradigma ini, tindakan seseorang diasumsikan merupakan fungsi dari
sistem atau struktur dalam masyarakat.
Fakta sosial dimaksud adalah sesuatu yang bersifat eksternal si luar individu
dan bersifat memaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tradisi,
aturan, hukum, berbagai kesepakatan, struktur sosial. Semua itu berada diluar
dan memaksa individu untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Masyarakat yang
melanggar tradisi atau ketentuan seperti itu berarti telah melakukan bentuk
penyimpangan dan akan mendapat resiko dari masyarakat. Dengan demikian individu
tunduk kepada ketentuan masyarakat.
b. Paradigma definisi social
Berakar
dari gagasan Max Weber yang mengatakan bahwa tindakan seseorang bukan karena
faktor dari luar, melainkan datang dari dorongan diri sendiri. Tindakan
seseorang merupakan hasil dari keinginan, motivasi, harapan, nilai-nilai serta
berbagai bentuk penafsiran manusia sebagai individu terhadap dunia dimana ia
hidup.
c. Paradigma perilaku sosial yang muncul dari gagasan Skinner.
Tindakan individu menurut
paradigma perilaku social berdasarkan factor eksternal sama halnya seperti
paradigm fakta social. Namun, tidak seperti paradigma fakta social yang
memandang factor structural atau system yang menjadi acuan tindakan seseorang,
dalam paradigm perilaku social yang dipersoalkan adalah factor stimulus.
Penganut perspektif ini memandang siapa mendapat apa. Mereka berasumsi bahwa
stimulus yang bagus akan menghasilkan respon yang bagus pula atau sebaliknya.
Paradigma social yang digagas oleh Ritzer juga berkembang dalam
pemikiran tentang pengembangan model pendidikan. Model pengembangan pendidikan
itu termasuk berimplikasi terhadap pola pengembangan kurikulum dan silaby,
kepemimpinan, manajemen sumber daya, pengelolaan kelas dan juga strategi
pembelajaran, di samping cara-cara melakukan evaluasi pendidikan.
Berikut akan dijelaskan bagaimana ketiga paradigma yang telah
dijelaskan memiliki relevansi dengan model pengembangan pendidikan
2.
Paradigma
Behavioristik
Paradigma ini muncul sekitar tahun 1930 dan dipelopori oleh Pavlov
(1849-1936), Watson (1878-1958), Skinner dan Thorndike (1874-1949). Mereka
beranggapan bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari proses belajar,
sehingga perubahan tingkah laku manusia bergantung pada bagaimana terjadinya
proses belajar tersebut.
Pavlov menunjukkan hubungan yang simple antara stimulus dan respon
dalam pengajaran (conditioning) untuk membentuk perilaku organisme.[2] Conditioned
stimulus menghasilkan conditioned response. Sementara itu, Watson mengembangkan
pemikiran bahwa pembelajaran merupakan proses pembentukan kondisi yang
diwujudkan dalam bentuk subtitusi satu stimulus terhadap yang lain.[3]
Kemudian Thorndike merumuskan hukum pengaruh atau law of effect. Dalam hokum
pengaruh ini dikatakan bahwa respon kuat akan diberikan apabila situasi dibuat
menyenangkan, tetapi respon lemah jika situasi tidak menyenangkan.[4]
Menururt teori ini, lingkungan pembelajaran merupakan factor yang
amat menentukan. Pembelajaran dilihat sebagai pembentukan respon berdasar
stimulus dari luar. Selain itu hadiah (reward) dan hukuman (punishment)
merupakan cara yang sangat efektif untuk
membentuk dan mengembangkan bakat.
Dalam proses pembelajaran siswa diperkenalkan mulai dari skill
dasar yang sederhana terlebih dahulu, baru kemudian diberikan skill dan
kompetensi yang lebih rumit dan kompleks.
Melalui teori ini siswa dapat diorganisasikan dalam satu kelompok
yang homogen dilihat dari latar belakang kemampuan dan tingkat skill yang
dimiliki. Kemajuan pembelajaran diukur dengan melakukan tes berdasarkan level atau tingkat kemampuan
siswa.
Selain itu, dalam kerangka behavioristik guru harus merumuskan
tujuan pembelajaran tertentu, kemudian menyusun tahapan-tahapan pembelajaran
agar siswa dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Guru juga harus menciptakan
lingkungan yang kondusif sebagai penguatan terhadap stimulus yang diberikan
kepada siswa.
Dalam menjalankan paradigm ini, guru memerlukan sejumlah kompetensi
yang harus dikuasai, meliputi:
a.
Mengetahui
perilaku siswa secara tepat dan mendorong disiplin siswa.
b.
Menggunakan
pendekatan yang dapat memecahkan perilaku yang tidak diinginkan.
c.
Menggunakan
berbagai bentuk strategi mengelola perilaku.
d.
Mengembangkan
kegiatan rutin yang jelas dalam mengelola perilaku siswa konsisten dengan
peraturan sekolah.
e.
Melakukan
tindakan yang tepat, tegas, adil dan konsisten.[5]
Guru juga harus
memiliki kemampuan membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu, untuk itu guru harus melakukan upaya antara lain:
a.
Menghubungkan
program pembelajaran dengan tujuan dan saran pendidikan.
b.
Menyusun
tujuan yang jelas dalam program pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran siswa sebagaimana telah disepakati sebelumnya.
c.
Pilih
dan buat tahapan aktifitas belajar untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan.
d.
Perhatikan
tujuan siswa dan segala capaian yang telah diraih oleh siswa sebelumnya.
e.
Susun
strategi pembelajaran behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran,
tahap demi tahap, serta jamin tersedia contoh pada masing-masing tahap, berikan
koreksi pada praktek yang salah, upayakan tidak melepaskan siswa belajar sendiri
secara langsung, melainkan bimbing dan kalau
hendak melepaskan lakukan secara bertahap.
f.
Hubungkan
proses penilaian atau evaluasi dengan strategi, tujuan, isi dan tugas
pembelajaran.[6]
3.
Paradigma
Konstruktivistik
Paradigma ini dikenalkan oleh Comsky dalam linguistik, Simon dalam
computer scientistis, dan Bruner dalam pengetahuan kognitif. Paradigma
konstruktivistik muncul sebagai reaksi kelemahan paradigma behavioristik.
Menurut paradigma konstriktivistik memandang pembelajaran berdasarkan paradigma
behavioristik yang hanya menghasilkan pendidikan yang terfokus pada perilaku
yang bisa diamati. Konstruktivistisme mengembangkan pembelajaran dengan
berbasis kepada pemahaman siswa. Kalau ingin memahami apa yang sudah diketahui siswa dan dapat memonitor perkembangan
prestasi pembelajaran dan pengetahuan siswa, maka faktor pemahaman siswa harus
menjadi fokus perhatian guru. Dalam hal ini guru harus mempunyai metode-metode
untuk mengetahui seberapa banyak siswa memahami sesuatu yang telah diberikan
oleh guru, yaitu dengan cara siswa sering diberikan pelatihan ataupun tugas,
maka dengan semua itu diharapkan siswa akan berusaha untuk mengembangkan pemikiranya. Tugas guru
sendiri yaitu memahami faktor-faktor instrinsik yang ada dalam diri siswa. Guru
harus menciptakan situasi yang kondusif dan menarik agar siswa mamahami apa
yang telah diberikan. Akan tetapi pada paradigma konstruktivistik siswa juga
memiliki potensi didalam dirinya dalam menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif. Misalkan siswa sering bertanya dan aktif dalam pembelajaran.
Dalam pendidikan konstruktivistik pembelajaran dipandang sebagai
proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa, artinya siswa dituntut untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam proses pembelajaran. Siswa
diberikan kebebasan dan fasilitas untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
Dengan adanya pendekatan seperti ini
pendidikan konstruktivistik menegaskan bahwa sumber belajar bukan hanya
bersumber dari guru ataupun dozen akan tetapi dari semua hal atau aspek dan
lingkungannya.
Paradigma konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas
pemikiran individu dalam pembelajaran, artinya semuia ide atau gagasan adalah
faktor yang terpenting dalam proses pembelajaran. Siswa diharapkan belajar
mengembangkan struktur, kognitif, skema berfikirnya dan menggunakan informasi
dan pengetahuan yang didapatnya agar lebih maju. Jika dalam paradigma
behavioristik siswa cenderung pasive, maka dalam paradigma konstruktivistik
siswa lebih cenderung aktif dan bisa mengembangkan pemikiran-pemikirannya.
Fokusnya siswa diharapkan mengerti makna kehidupan.
Paradigma konstruktivistik menekankan kepada pemahaman, serta
memecahkan masalah yang dimilki siswa. Pendidikan konstruktivistik memiliki 2 jenis, yaitu :
1.
konstruktivistik psikologis
Pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana
mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan, dan posisinya selama proses
pembelajaran.
2.
konstruktivistik sosial
Pendidikan difokuskan kepada faktor sosial dan budaya dalam
pengembangan pembelajaran dan interaksi sosial
dalam proses pembelajarannya.
Dalam konteks paradigma konstruktivistik, pembelajaran berorientasi
kepada tujuan dan bukan materi semata.
Pembelajaran model konstruktivistik memberi penekanan siswa untuk aktif
dan guru sebagai fasilitator yang mengawali pembelajaran melalui proses
negosiasi dengan siswa.
4.
Paradigma
Social Cognitive
Pada tahun 1997, Bredo mengembangkan paradigma social cognitive
dengan memanfaatkan psikologi fungsional dan filsafat pragmatism dari karya
James, Deway dan Mead. Ia juga mengaitkan dengan nilai-nilai demokratik serta
pemikiran behavioristik. Prinsipnya adalah bahwa individu bukanlah actor yang
hanya mereproduksi apa yang dia peroleh dari dunia atau struktur di sekitarnya.
Namun, individu juga mengembangkan struktur atau memproduksi dunia di sekitarnya. Pendidikan dan
pembelajaran yang mendasarkan pada individu yang selalu berdialog dengan
struktur ini kemudian memanfaatkan jasa teori social seperti sosiologi,
antropologi, dan juga psikologi. Kata kunci yang dikembangkan dalam
pembelajaran antara lain ‘aktor” -individu yang memproduksi struktur, “agen”
–individu yang tidak hanya mereproduksi tapi juga memproduksi struktur, aturan
peran, pembagian kerja, artifact, dan kontradiksi.
Setting pembelajaran dalam paradigma social
cognitive diupayakan agar siswa bisa menggunakan system pengetahuan yang
dimilikinya dan digunakan untuk berdialog dengan lingkungan. Pemikiran
atau pembelajarannya dilakukan melalui tindakan yang bisa mengubah situasi.
Selebihnya, paradigma social cognitivr dirinci dengan baik oleg
McInerery yang dapat dilihat cara menyampaikan materi, metofologi, motivasi,
dan perumusan tujuan dan cara evaluasi sebagai berikut:
a.
Alat
menyampaikan materi
1.
Melakukan
display model, misalnya guru melakukan demonstrasi, audiovisual, penampilan
teman sebaya, mengundang tamu, pembicara. Materi harus relevan dan menarik
untuk menarik perhatian siswa.
2.
Berfokus
pada siswa. Materi disampaikan dengan cara yang dapat menarik minat siswa
secara langsung.
b.
Aktivitas/metodologi
1.
Metode
rinci, tahap demi tahap mengikuti model.
2.
Penjelasan
pemberian informasi verbal.
3.
Bahan
instruksional disusun secara teratur dan menarik siswa.
4.
Member
kesempatan siswa untuk memahami dan menyajikan kembali materi pembelajaran.
c.
Motivasi
dan tujuan
1.
Membuat
instrument reinforcement.
2.
Menekankan
dorongan intrinsic maupun reinforcement.
3.
Menguasai
perilaku yang ditentukan dan mentransformasikannya dalam situasi baru.
d.
Evaluasi
1.
Melakukan
evaluasi formative secara terus-menerus melakukan koreksi dan member respun
terhadap umpan balik secara langsung.
2.
Mereproduksi
pendorong kepuasan yang diperlukan untuk membentu perilaku.
3.
Menggunakan
skill yang diperlukan dalam situasi yang sama maupun yang baru melalui
transformasi.
4.
Kawan
sebaya dan interaksi efektif dengan orang yang lebih dewasa.
Praktik di kelas selanjutnya menyusun strategi pembelajaran yang
menurut Krause ada 3 strategi, yaitu:
a.
Mendorong
pembelajaran terpusat pada pengalaman dan kegiatan siswa.
b.
Memberikan
kesempatan siswa belajar bekerjasama.
c.
Bantu
siswa baru mengembangkan keahliannya.[7]
KESIMPULAN
Pembagian perspektif sosiologi pendidikan di
bagi menjadi dua yaitu perspektif makro dan perspektif mikro yang mana
pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan obyektiv dan pendekatan
subyektiv.adapun sejumlah paradigma sosiologi pendidikan yaitu
pertama,paradigma klasik atau paradigma behavioristik yang menekankan pada
faktor eksternal sebagai penentu efektivitas pembelajaran.strateginya di
upayakan pada penyediaan faktor eksternal yang positiv dan kondusif.
Kedua,paradigma konstruktivistik yang
menegaskan pembelajaran hanya akan efektif jika ada dorongan intrinsik dari
siswa.strategi pembelajaran di fokuskn pada aktivitas dan inisiatif siswa.
Ketiga,paradigma social cognitive mencoba
menutp kelemahan kedua paradigma di atas dengan cara menggabungkan kekuatan
keduanya,di kembangkan berdasarkan asumsi bahwa individu atau siswa dengan
sistem pengetahuan yang di milikinya selalu berinteraksi dengan struktur atau
lingkungan sekitarnya.strategi pembelajrannya di fokuskan kepada dialog
individu dengan dunia atau struktur di sekitarnya.sehingga paradigma sosial
cognitive tampak lebih komprehensif dan memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Maliki z,2008,perkembangan perspektif sosiologi pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar