Rabu, 21 Januari 2015

sosiologi pendidikan


PENDAHULUAN

Seperti yang kita tahu,ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.hingga awal abad ke 21 ini telah bermunculan ribuan ilmu pengetahuan yang mana di antaranya membahas masalah sosiologi,dan dalam makalah kali ini akan di spesifikasikan lagi yakni sosiologi pendidikan terkait dengan perspektif dan paradigmanya.perspektif dan paradigma sosiologi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun, merekonstruksi,dan mengembangkan dunia pendidikan.pendidikan bukan sekedar proses transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik melainkan juga proses pembelajaran sosialisasi para peserta didik dalam ruang lingkup yang kecil.para sosiolog telah menawarakn alternatif yang sangat bermanfaat bagi kelanjutan progresivitas pendidikan di abad ilmu pengetahuan ini.sosiologi pendidikn hadir untuk mengembangkan pendidikan melalui pendekatan sosiologi.maka dalam makalah ini akan di bahas perspektif dan paradigma sosiologi pendidikan beserta teori-teori yang berorientasi padanya.










PEMBAHASAN

PERSPEKTIF DAN PARADIGMA PENDIDIKAN
A.    Perspektif Sosiologi Pendidikan
Secara etimologi perspektif merupakan pengharapan, peninjauan. Sehingga perspektif sosiologi pendidikan dapat dirumuskan sebagai tinjauan atas pendidikan melalui pendekatan sosiologi.
Sosiologi pendidikan memiliki perspektif yang beragam, dimana dalam pembagiannya akan diperlihatkan perbedaan sosiologi pendidikan yang berorientasi pada dimensi kajian makro dengan teori-teori yang berpayung pada dimensi  kajian makro serta pihak sosiologi pendidikan yang berpayung di dalam perspektif mikro.
a.       Perspektif Makro.
      Perspektif makro merupakan tinjauan yang mana menguji masyarakatnya/institusi pendidikan/kelompok/komunitas guru/nilai yang dikembangkan oleh masyarakat. Menggunakan perspektif positivistic dengan tujuan menjelaskan realita/data (explanation purpose) segala penjelasan dicari ditengah realitas masyarakat, organisasi dan institusi sosial sebagai fakta sosial yang berada di luar individu. Fakta sosialnya bersifat memaksa dan menekan individu untuk mengadopsi.Pengabaian terhadap fakta sosial bisa mengakibatkan fakta social tertentu atau dapat dikatakan sebagai individu yang berperilaku menyimpang(deviance).
      Perspektif sosiologi pendidikan juga dipisahkan antara mereka yang memilih penekanan pada ranah objektif dengan mereka yang memilih ranah subjektif. Mereka yang memilih pendekatan ranah objektif melihat data atau realitas dengan pandangan bebas nilai. Penjelasan dilakukan dengan melihat data di luar individu atau mencari penjelasan di dunia objektif (objective realm). Oleh karena pendidikan objektif ini lebih dekat pada level kajian makro. [1]
      Sejumlah teori yang berpayung pada ranah kajian makro seperti teori structural fungsional, structural konflik, Marxian dan teori dependencia cenderung melihat bagaimana pendidikan di organisasikan, institusi pendidikan di bentuk, kultur sekolah disosialisasikan dan system pendidikan dikembangkan.
b.      Perspektif Mikro
Perspektif mikro merupakan tinjauan, upaya memahami fenomena data dan informasi, juga realitas kehidupan individu. Realitas pendidikan dikaji dari ranah subjektif pada tataran individu yang meliputi konstruk, persepsi, penafsiran, dan pemaknaan individu terhadap dunia pendidikan. Menekankan pada dunia, makna dan penafsiran individu terhadap pendidikan. Sebagai contoh, makna atau penafsiran yang diberikan oleh guru/murid/pakar pendidikan terhadap masalah pendidikan.
Kajian sosiologi pendidikan perspektif mikro, mencari pemaknaan masalah pendidikan ke dunia makna, kemajuan dan kemunduran, keberhasilan dan kegagalan dalam pendidikan. Oleh teori-teori yang menekankan pada ranah mikro seperti perspektif konstruksionis, interaksionisme simbolik, fenomenologi, dramaturgi, feminisme, dan lain-lain.


B.     Paradigma Baru Pendidikan
Dalam dunia sosiologi, terdapat beberapa paradigma, antara lain paradigma fakta social (social paradigm), paradigma definisi social (social definition paradigma) dan paradigm perilaku social (behaviorism paradigm).
Sebelum dijelaskan dari masing-masing paradigma, akan terlebih dahulu dijelaskan pengertian paradigma dan perkembangannya dalam dunia pendidikan dari selanjutnya akan diuraikan lebih detail dua paradigma yang sangat popular dalam dunia pendidikan, yaitu paradigma perilaku social atau behaviourisme dan perspektif konstruksionisme dan social cognitive yang berada dalam lingkup paradigm definisi social.
1.      Pengertian Paradigma dan Perkembangannya dalam Pendidikan
Istilah paradigma populer dari pemikiran Thomas Kuhn (1970) dalam bukunya The Structure of Scientifik Rrevolution ketika menjelaskan Revolusi ilmu pengetahuan. Dimana ilmu pengetahuan yang berkembang dan diakui sebagai sebuah paradigma yang awalnya diyakini sebagai kebenaran dan dijadikan sebagai awal masyarakat dalam merumuskan dan cara menjawab suatu pertanyaan. Namun, sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, apa yang di yakini kebenaran itu mengalami kegoncangan dan kekacauan karena dianggap tidak lagi mampu menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya timbul krisis karena validitas paradigm lama benar-benar tidak lagi bisa dipertahankan. Setelah terjadi revolusi akan ditemukan teori baru, dan dari sinilah dimulai munculnya paradigma baru.
Paradigma adalah cara seseorang memandang kenyataan dalam kehidupan. Ritzer (1983) member pengertian paradigm sebagai cara bertanya, cara menjawab, menemukan masalah dan memecahkannya.
Menurut Ritzer, ada 3 paradigma dalam ilmu social, yaitu:
a.      Paradigma fakta social yang berakar pada pemikiran Emile Durkheim dan terkenal dengan perspektif Durkheiman.
Paradigma ini mendasarkan pada filsafat positivism dari Auguste Comte yang menyatakan segala sesuatu serba terukur dan berkembang mengikuti hukum  sebab akibat. Kehidupan ini dibangun menggunakan hukum dan logika “jika-maka”. Tidak ada gfejala yang tidak bisa dijelaskan, sebab gejala yang tidak bisa dijelaskan diartikan tidak ada. Dalam paradigma ini, tindakan seseorang diasumsikan merupakan fungsi dari sistem atau struktur  dalam masyarakat. Fakta sosial dimaksud adalah sesuatu yang bersifat eksternal si luar individu dan bersifat memaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tradisi, aturan, hukum, berbagai kesepakatan, struktur sosial. Semua itu berada diluar dan memaksa individu untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Masyarakat yang melanggar tradisi atau ketentuan seperti itu berarti telah melakukan bentuk penyimpangan dan akan mendapat resiko dari masyarakat. Dengan demikian individu tunduk kepada ketentuan masyarakat.

b.      Paradigma definisi social
Berakar dari gagasan Max Weber yang mengatakan bahwa tindakan seseorang bukan karena faktor dari luar, melainkan datang dari dorongan diri sendiri. Tindakan seseorang merupakan hasil dari keinginan, motivasi, harapan, nilai-nilai serta berbagai bentuk penafsiran manusia sebagai individu terhadap dunia dimana ia hidup.

c.       Paradigma perilaku sosial yang muncul dari gagasan Skinner.
 Tindakan individu menurut paradigma perilaku social berdasarkan factor eksternal sama halnya seperti paradigm fakta social. Namun, tidak seperti paradigma fakta social yang memandang factor structural atau system yang menjadi acuan tindakan seseorang, dalam paradigm perilaku social yang dipersoalkan adalah factor stimulus. Penganut perspektif ini memandang siapa mendapat apa. Mereka berasumsi bahwa stimulus yang bagus akan menghasilkan respon yang bagus pula atau sebaliknya.

Paradigma social yang digagas oleh Ritzer juga berkembang dalam pemikiran tentang pengembangan model pendidikan. Model pengembangan pendidikan itu termasuk berimplikasi terhadap pola pengembangan kurikulum dan silaby, kepemimpinan, manajemen sumber daya, pengelolaan kelas dan juga strategi pembelajaran, di samping cara-cara melakukan evaluasi pendidikan.
Berikut akan dijelaskan bagaimana ketiga paradigma yang telah dijelaskan memiliki relevansi dengan model pengembangan pendidikan

2.      Paradigma Behavioristik
Paradigma ini muncul sekitar tahun 1930 dan dipelopori oleh Pavlov (1849-1936), Watson (1878-1958), Skinner dan Thorndike (1874-1949). Mereka beranggapan bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari proses belajar, sehingga perubahan tingkah laku manusia bergantung pada bagaimana terjadinya proses belajar tersebut.
Pavlov menunjukkan hubungan yang simple antara stimulus dan respon dalam pengajaran (conditioning) untuk membentuk perilaku organisme.[2] Conditioned stimulus menghasilkan conditioned response. Sementara itu, Watson mengembangkan pemikiran bahwa pembelajaran merupakan proses pembentukan kondisi yang diwujudkan dalam bentuk subtitusi satu stimulus terhadap yang lain.[3] Kemudian Thorndike merumuskan hukum pengaruh atau law of effect. Dalam hokum pengaruh ini dikatakan bahwa respon kuat akan diberikan apabila situasi dibuat menyenangkan, tetapi respon lemah jika situasi tidak menyenangkan.[4]
Menururt teori ini, lingkungan pembelajaran merupakan factor yang amat menentukan. Pembelajaran dilihat sebagai pembentukan respon berdasar stimulus dari luar. Selain itu hadiah (reward) dan hukuman (punishment) merupakan cara yang sangat efektif untuk  membentuk dan mengembangkan bakat.
Dalam proses pembelajaran siswa diperkenalkan mulai dari skill dasar yang sederhana terlebih dahulu, baru kemudian diberikan skill dan kompetensi yang lebih rumit dan kompleks.
Melalui teori ini siswa dapat diorganisasikan dalam satu kelompok yang homogen dilihat dari latar belakang kemampuan dan tingkat skill yang dimiliki. Kemajuan pembelajaran diukur dengan melakukan tes  berdasarkan level atau tingkat kemampuan siswa.
Selain itu, dalam kerangka behavioristik guru harus merumuskan tujuan pembelajaran tertentu, kemudian menyusun tahapan-tahapan pembelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Guru juga harus menciptakan lingkungan yang kondusif sebagai penguatan terhadap stimulus yang diberikan kepada siswa.
Dalam menjalankan paradigm ini, guru memerlukan sejumlah kompetensi yang harus dikuasai, meliputi:
a.       Mengetahui perilaku siswa secara tepat dan mendorong disiplin siswa.
b.      Menggunakan pendekatan yang dapat memecahkan perilaku yang tidak diinginkan.
c.       Menggunakan berbagai bentuk strategi mengelola perilaku.
d.      Mengembangkan kegiatan rutin yang jelas dalam mengelola perilaku siswa konsisten dengan peraturan sekolah.
e.       Melakukan tindakan yang tepat, tegas, adil dan konsisten.[5]
Guru juga harus memiliki kemampuan membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, untuk itu guru harus melakukan upaya antara lain:
a.       Menghubungkan program pembelajaran dengan tujuan dan saran pendidikan.
b.      Menyusun tujuan yang jelas dalam program pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran siswa sebagaimana telah disepakati sebelumnya.
c.       Pilih dan buat tahapan aktifitas belajar untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
d.      Perhatikan tujuan siswa dan segala capaian yang telah diraih oleh siswa sebelumnya.
e.       Susun strategi pembelajaran behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran, tahap demi tahap, serta jamin tersedia contoh pada masing-masing tahap, berikan koreksi pada praktek yang salah, upayakan tidak melepaskan siswa belajar sendiri secara langsung, melainkan bimbing dan kalau hendak melepaskan lakukan secara bertahap.
f.       Hubungkan proses penilaian atau evaluasi dengan strategi, tujuan, isi dan tugas pembelajaran.[6]

3.      Paradigma Konstruktivistik
Paradigma ini dikenalkan oleh Comsky dalam linguistik, Simon dalam computer scientistis, dan Bruner dalam pengetahuan kognitif. Paradigma konstruktivistik muncul sebagai reaksi kelemahan paradigma behavioristik. Menurut paradigma konstriktivistik memandang pembelajaran berdasarkan paradigma behavioristik yang hanya menghasilkan pendidikan yang terfokus pada perilaku yang bisa diamati. Konstruktivistisme mengembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada pemahaman siswa. Kalau ingin memahami apa yang sudah diketahui  siswa dan dapat memonitor perkembangan prestasi pembelajaran dan pengetahuan siswa, maka faktor pemahaman siswa harus menjadi fokus perhatian guru. Dalam hal ini guru harus mempunyai metode-metode untuk mengetahui seberapa banyak siswa memahami sesuatu yang telah diberikan oleh guru, yaitu dengan cara siswa sering diberikan pelatihan ataupun tugas, maka dengan semua itu diharapkan siswa akan berusaha  untuk mengembangkan pemikiranya. Tugas guru sendiri yaitu memahami faktor-faktor instrinsik yang ada dalam diri siswa. Guru harus menciptakan situasi yang kondusif dan menarik agar siswa mamahami apa yang telah diberikan. Akan tetapi pada paradigma konstruktivistik siswa juga memiliki potensi didalam dirinya dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Misalkan siswa sering bertanya dan aktif dalam pembelajaran.
Dalam pendidikan konstruktivistik pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa, artinya siswa dituntut untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam proses pembelajaran. Siswa diberikan kebebasan dan fasilitas untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan adanya pendekatan seperti  ini pendidikan konstruktivistik menegaskan bahwa sumber belajar bukan hanya bersumber dari guru ataupun dozen akan tetapi dari semua hal atau aspek dan lingkungannya.
Paradigma konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu dalam pembelajaran, artinya semuia ide atau gagasan adalah faktor yang terpenting dalam proses pembelajaran. Siswa diharapkan belajar mengembangkan struktur, kognitif, skema berfikirnya dan menggunakan informasi dan pengetahuan yang didapatnya agar lebih maju. Jika dalam paradigma behavioristik siswa cenderung pasive, maka dalam paradigma konstruktivistik siswa lebih cenderung aktif dan bisa mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Fokusnya siswa diharapkan mengerti makna kehidupan.
Paradigma konstruktivistik menekankan kepada pemahaman, serta memecahkan masalah yang dimilki siswa. Pendidikan  konstruktivistik memiliki 2 jenis, yaitu :
1. konstruktivistik psikologis
Pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan, dan posisinya selama proses pembelajaran.
2. konstruktivistik sosial
Pendidikan difokuskan kepada faktor sosial dan budaya dalam pengembangan pembelajaran dan interaksi sosial  dalam proses pembelajarannya.
Dalam konteks paradigma konstruktivistik, pembelajaran berorientasi kepada tujuan dan bukan materi semata.  Pembelajaran model konstruktivistik memberi penekanan siswa untuk aktif dan guru sebagai fasilitator yang mengawali pembelajaran melalui proses negosiasi dengan siswa.

4.      Paradigma Social Cognitive
Pada tahun 1997, Bredo mengembangkan paradigma social cognitive dengan memanfaatkan psikologi fungsional dan filsafat pragmatism dari karya James, Deway dan Mead. Ia juga mengaitkan dengan nilai-nilai demokratik serta pemikiran behavioristik. Prinsipnya adalah bahwa individu bukanlah actor yang hanya mereproduksi apa yang dia peroleh dari dunia atau struktur di sekitarnya. Namun, individu juga mengembangkan struktur atau memproduksi  dunia di sekitarnya. Pendidikan dan pembelajaran yang mendasarkan pada individu yang selalu berdialog dengan struktur ini kemudian memanfaatkan jasa teori social seperti sosiologi, antropologi, dan juga psikologi. Kata kunci yang dikembangkan dalam pembelajaran antara lain ‘aktor” -individu yang memproduksi struktur, “agen” –individu yang tidak hanya mereproduksi tapi juga memproduksi struktur, aturan peran, pembagian kerja, artifact, dan kontradiksi.
Setting pembelajaran dalam paradigma social cognitive diupayakan agar siswa bisa menggunakan system pengetahuan yang dimilikinya dan digunakan untuk berdialog dengan lingkungan. Pemikiran atau pembelajarannya dilakukan melalui tindakan yang bisa mengubah situasi.
Selebihnya, paradigma social cognitivr dirinci dengan baik oleg McInerery yang dapat dilihat cara menyampaikan materi, metofologi, motivasi, dan perumusan tujuan dan cara evaluasi sebagai berikut:
a.       Alat menyampaikan materi
1.      Melakukan display model, misalnya guru melakukan demonstrasi, audiovisual, penampilan teman sebaya, mengundang tamu, pembicara. Materi harus relevan dan menarik untuk menarik perhatian siswa.
2.      Berfokus pada siswa. Materi disampaikan dengan cara yang dapat menarik minat siswa secara langsung.
b.      Aktivitas/metodologi
1.      Metode rinci, tahap demi tahap mengikuti model.
2.      Penjelasan pemberian informasi verbal.
3.      Bahan instruksional disusun secara teratur dan menarik siswa.
4.      Member kesempatan siswa untuk memahami dan menyajikan kembali materi pembelajaran.
c.       Motivasi dan tujuan
1.      Membuat instrument reinforcement.
2.      Menekankan dorongan intrinsic maupun reinforcement.
3.      Menguasai perilaku yang ditentukan dan mentransformasikannya dalam situasi baru.
d.      Evaluasi
1.      Melakukan evaluasi formative secara terus-menerus melakukan koreksi dan member respun terhadap umpan balik secara langsung.
2.      Mereproduksi pendorong kepuasan yang diperlukan untuk membentu perilaku.
3.      Menggunakan skill yang diperlukan dalam situasi yang sama maupun yang baru melalui transformasi.
4.      Kawan sebaya dan interaksi efektif dengan orang yang lebih dewasa.
Praktik di kelas selanjutnya menyusun strategi pembelajaran yang menurut Krause ada 3 strategi, yaitu:
a.       Mendorong pembelajaran terpusat pada pengalaman dan kegiatan siswa.
b.      Memberikan kesempatan siswa belajar bekerjasama.
c.       Bantu siswa baru mengembangkan keahliannya.[7]























KESIMPULAN
Pembagian perspektif sosiologi pendidikan di bagi menjadi dua yaitu perspektif makro dan perspektif mikro yang mana pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan obyektiv dan pendekatan subyektiv.adapun sejumlah paradigma sosiologi pendidikan yaitu pertama,paradigma klasik atau paradigma behavioristik yang menekankan pada faktor eksternal sebagai penentu efektivitas pembelajaran.strateginya di upayakan pada penyediaan faktor eksternal yang positiv dan kondusif.
Kedua,paradigma konstruktivistik yang menegaskan pembelajaran hanya akan efektif jika ada dorongan intrinsik dari siswa.strategi pembelajaran di fokuskn pada aktivitas dan inisiatif siswa.
Ketiga,paradigma social cognitive mencoba menutp kelemahan kedua paradigma di atas dengan cara menggabungkan kekuatan keduanya,di kembangkan berdasarkan asumsi bahwa individu atau siswa dengan sistem pengetahuan yang di milikinya selalu berinteraksi dengan struktur atau lingkungan sekitarnya.strategi pembelajrannya di fokuskan kepada dialog individu dengan dunia atau struktur di sekitarnya.sehingga paradigma sosial cognitive tampak lebih komprehensif dan memadai.








DAFTAR PUSTAKA
Maliki z,2008,perkembangan perspektif sosiologi pendidikan




[1] Maliki,perkembangan perspektif  sosiologi pendidikan,hlm 12-13
[2] Ibid,hlm 19
[3] Ibid,hlm 20
[4] Ibid
[5] Ibid,hlm 23
[6] Ibid hal,24
[7] Ibid,hlm 31-36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar