Rabu, 21 Januari 2015

POLIGAMI


POLIGAMI

PENDAHULUAN

Berbicara mengenai poligami adalah bicara mengenai hubungan  perkawinan yang memiliki pasangan lebih dari satu, baik dari pihak laki laki maupun perempuan. Poligami itu sendiri terbagi menjadi tiga yaitu poligini, poliandri dan pernikahan kelompok (group marriage). Berbeda dengan apa yang diketahui oleh kebanyakan orang bahwa islam adalah ajaran agama yang mengusung poligami, padahal pada dasarnya poligami lahir jauh sebelum kedatangan islam. Beberapa hal yang harus di pertimbangkan seseorang boleh berpoligami atau tidak sangat berkaitan erat dengan alasan, tujuan, syarat dan prosedur, hikmah, serta dampak yang mungkin di timbulkannya.
Poligami senantiasa menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak, Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya yaitu perbedaan dalam menafsirkan teks teks al quran dan alhadits. Oleh karena itu dalam makalah ini akan di bahas berbagai hal terkait poligami agar kita dapat mengetahui pokok pokok yang selama ini di perdebatkan banyak pihak dan mampu bersikap lebih bijak dalam menyikapi persoalan umat yang bersifat khilafiyah.
PEMBAHASAN

A.   Pengertian
Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani.Secara Etimologis poligami merupakan derivasi dari kata "apolus" yang berarti banyak dan "gamus" yang berarti istri atau pasangan.Sedangkan Secara Terminologis poligami adalah seorang suami yang memiliki isteri lebih dari seseorang dimana berdasarkan jumlah pasangannya bukan jumlah pernikahannya[1].Sementara istilah poligami inilah yang berkembang di masyarakat sekarang ini. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia poligami diartikan sebagai suatu sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan[2].Salah satu pihak dalam artian diatas bisa berarti pelakunya adalah si suami atau si isteri.
Kebalikan dari poligami adalah monogami yaitu sistem pernikahan yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.Istilah lainnya adalah monogini. Dalam realitas sosiologis yang terjadi di masyarakat monogami lebih banyak dipraktekan karena sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan kedamaian.[3]
Sedangkan Poligami sendiri mempunyai 3 bentuk,yaitu :
1.      Poligini ,yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria beristeri lebih dari satu orang.
2.      Poliandri, yaitu sistem perkawinan dimana seorang isteri mempunyai lebih dari satu orang suami.
3.      Komunisme seksual(Group Marriage) yaitu pernikahn kelompok yang mnerupakan gabungan dari poligini dan poliandri.
Menurut Hanry Pratt Fairchild istilah poligami yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini kurang pas dan lebih tepat jika disebut dengan poligini[4]. Sedangkan dalam Islam sendiri pada dasarnya yang diperbolehkan adalah poligami dalam bentuk poligini terbatas. Namun karena sudah menjadi hal yang umum maka untuk selanjutnya apa yang dimaksud penyusun dengan poligami dalam  makalah ini adalah poligami dalam bentuk poligini terbatas.
Selain dalam penggunaan istilah banyak juga orang yang salah paham tentang asal-usul poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang Poligami, bahkan ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, Poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru dan menyesatkan. Mahmud Syaltut (w.1963) Ulama besar asal mesir secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh syari’ah.
Berabad-abad sebelum islam diwahyukan,masyarakat diberbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekan poligami .Poligami dipraktekan secara luas dikalangan masyarkat Yunani,Persia dan Mesir kuno.Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam,  masyarakatnya telah mempraktekan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan isteri.
Sebagai agama yang sangat mementingkan keadilan, Islam datang membawa perubahan-perubahan yang radikal dalam pelaksanaan Poligami. Perubahan pertama , membatasi bilangan istri hanya sampai empat orang, Itupun hanya boleh kalau suami mampu berlaku adil.Syarat ini dirasakan amat berat kalau tidak ingin dikatakan mustahil dapat dipatuhi.Perubahan kedua, membatasi alasan poligami. Poligami hanya dibolehkan semata-mata demi menegakan keadilan bukan dalam rangka memuaskan nafsu biologis. Inipun ternyata lebih sulit dipahami.
Dengan demikian terlihat bahwa praktek poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan Istri dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki pada masa itu sudah terbiasa dengan banyak isteri. Lalu mereka disuruh memilih hanya empat saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil,sebelumnya poligami itu tidak mengenal syarat apapun.termasuk syarat keadilanAkibatnya poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil,sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti hawa nafsunya[5].

B.     Landasan teologis
Ayat al-Qur'an yang membahas mengenai masalah poligami adalah Qs.An-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
wa-in khiftum allā tuqsiţū fī alyatāmā fainkihū mā thāba lakum mina alnnisā-i matsnā watsulātsa warubā'a fa-in khiftum allā ta'dilū fawāhidatan aw mā malakat aymānukum dhţŢȘșālika adnā allā ta'ūlū
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Menurut para Mufassir dan ahli Fiqh ayat ini adalah dasar dibolehkannya poligami karena didalamnya ada kalimat yang maknanya “kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu sukai, dua, tiga atau empat. Akan tetapi seperi biasanya mereka telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada diantara masalah poligami dengan janda yang memiliki anak yatim.[6] Padahal dengan menyimak susunan redaksinya saja kita dapat mengetahui secara jelas bahwa ayat tersebut bukan anjuran untuk berpoligami melainkan lebih pada memberikan solusi agar para wali terhindar dari berbuat tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perwalian mereka, yaitu dengan mengewini perempuan lain saja.Ayat ini diturunkan dimadinah setelah perang uhud.Sebab pada perang uhud kaum muslimin mengalami kekalahan maka banyak prajurit muslim yang gugur di medan perang.Sehingga jumlah janda dan anak yatim meningkat drastis di komunitas muslim. Yang mana tentu saja tanggung jawab anak yatim tersebut pada akhirnya dilimpahkan kepada walinya.[7]
Kecenderungan mayoritas besar para ahli tafsir adalah jika seorang laki-laki ingin berpoligami maka ia dibebaskan memilih perempuan yang mana saja yang disenanginya, boleh perawan, boleh janda atau perawan dan janda. Sedangkan Menurut Penafsiran Syahrur, an-nisā (perempuan-perempuan) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah janda yang mempunyai anak-anak yatim.Meskipun begitu ia tetap membolehkan poligami sampai empat berdasarkan pertimbangan koteks sosialnya misalnya dalam koteks perang dan jumlah laki-laki berkurang atau dengan kata lain jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.
Sedangkan menurut Faqihuddin Abdul Qodir, dengan mengutip makna-makna ayat dari Imam Al-Qurthubi,terutama menyangkut kalimat : "Ma ţaba lakum min an-nisā." Ia menafsirkannya sebagai perempuan-perempuan yang meneynangimu atau suka kepada kamu. Tafsir ini menegaskan bahwa poligami tidak dapat dilakukan secara sepihak,yakni atas kehendak laki-laki semata,melainkan perlu mempertimbangkan hak perempuan, bahkan hak perempuan yang lebih utama. Dengan demikian orang yang ingin berpoligami hendaknya memperhatikan hak-hak perempuan dan kerelaan mereka.[8]
Menurut M.Abduh disinggungnya persoalan poligami dalam  konteks pembicaraan anak yatim bukan  tanpa alasan. Hal ini memberikan pengertian bahwa persoalan poligami identik dengan persoalan anak yatim. Kedua masalah tersbut saling terkait karena mengandung masalah yang mendasar yaitu mengenai ketidakadilan. Anak yatim sering sekali menjadi korban ketidakadilan karena mereka tidak dilindungi, sementara di dalam poligami yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Kebolehan berpoligami merupakan sesuatu yang sangat sulit mengingat beratnya syarat yang harus dipenuhi Poligami memang diharamkan atas mereka yang mempunyai kekhawatiran tidak dapat berlaku adil  apabila kawin lebih dari satu. Jika dilakukan Akad dalam keadaan demikian maka akadnya dianggap fasid atau batal karena keharamannya menjadi penghalang berlakunya akad.[9]
Abduh menambahkan jika diamati ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami merupakan persoalan yang sangat pelik dan berat. Tampaknya poligami hanya dibolehkan pada oangyang sangat membutuhkan dengan syarat meyakini kemampuan dirinya berlaku adil dan aman dari berbuat dosa. Menurutny Poligami terlah dipraktikan secara melaus oleh kaum muslimin generasi terdahulu tetapi kemudian berkembang menjadi praktek pemuasan syahwat yang tak terkendali, tanpa rasa keadilan dan kemanusiaan, sehingga tidak lagi kondusif bagi kesejahteraan masyarakat . Atas dasar pertimbangan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat, Abduh akhirnya menyimpulkan perlunya penghapusan Poligami dalam Islam[10]
Menurut Abu Ja’far ,sebagai mana dikutip Rasyid Ridla ayat tersebut berisi peringatan yang keras terhadap agar bersikap hati-hati dan adil, baik terhadap anak yatim maupun terhadap perempuan. Karena itu janganlah mengawini anak yatim kecuali jika tidak ada kekhawatiran terjerumus kedalam perbuatan aniaya dan dosa.tatapi jika takut berbaut dosa maka kawinilah perempuan lain sebanyak satu samapai empat.tatapi sekali lagi jika takut maka cukup kawini satu orang saja.  Kalau dipiki-pikir penjelasan diatas mengandung dua kseimpulan ;Pertama, para wali jangan mengawini anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka agar terhindar  dari dosa. Kedua , para suami jangan melakukan poligami akag terhindar dari dosa. Sementar ia juga menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan karena pada dasarnya perkawinan itu adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan. Poligami hanyalah untuk kondisi darurat , misalnya dalam peperangan, tetapi juga disertai dengan syarat yang ketat., yaitu tidak boleh mengandung unsure dosa dan ketidakadilan.
Menurut Qurais Shihab, ia menggarisbawahi bahwa ayat tersebut tidak memuat peraturan tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dipraktekan oleh syartiat agama dan tradisi sebelum Islam. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya ,melainkan berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun hanya pintu darurdat kecil yang boleh dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Qasim Amin membenarkan bahwa ayat tersebut selintas mengandung kebolehan poligami, tatapi sekaligus juga ancaman bagi pelaku poligami. Pada hakekatnya suami ayng akan berpoligami sudah tahu bahwa dirinya, sesuai dengan ayat ini , sebenarnya tidak akan mampu berbuat adil. Jadi, sebelum melakukan itu ,dirinya sebetulnya telah diliputi oleh rasa takut. Karena itu kebolehan poligami hanya ditunjukan pada orang-orang tertentu yang yakin bahwa dirinya tidak akan terperosok kedalam perilaku tidak adil, dan yang tahu soal ini adalah hanya dirinya dan Tuhan.[11]

C.   Syarat dan Prosedur Poligami
Islam membolehkan kaum laki-laki menikah dengan lebih dari satu istri. Akan tetapi kebolehan ini dibatasi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak terpenuhi, maka pelakunya berdosa. Walaupun menurut sebagian ulama pernikahannya sah. Adapun syarat-syaratnya yaitu :
1.      Yakin mampu berlaku adil terhadap para istri dalam hal pembagian bermalam dan nafkah. Seorang muslim yang melakukan poligami, sementara dia yakin bahwa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan terhadap isteri-isterinya, maka sesungguhnya ia telah melakukan dosa besar dihadapan Allah dan terhadap mereka.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَنْ كَانَتْ لَهُ اِمْرَأَتَانِ , فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا , جَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَة
ُDari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang siapa memiliki dua orang istri dan ia condong kepada salah satunya, ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuh miring." Riwayat Ahmad dan Imam Empat
2.      Memiliki kemampuan financial, yaitu kemampuan memberi nafkah secara adil kepada para istri. Sebab kalau seseorang tidak memiliki kemampuan memberi nafkah,maka ia akan menelantarkan hak-hak orang lain.
Disamping syarat ini juga dilandasi beberapa alasan antara lain :
a)      Kemampuan memberi nafkah merupakan konsekuensi perintah mempergauli isteri dengan secara makruf.
b)      Terdapat banyak teks yang memerintahkan para suami untuk memberi nafkah kepada isteri-isterinya dan ancaman bagi mereka yang menelantarkan keluarganya.
"cukuplah dosa seseorang yang menelantarkan orang yang dia tanggung " (HR Abu Daud dari Abdullah bin 'Amr r.a)
c)      Hak-hak isteri menegaskan kewajiban suami  untuk mempunyai kemampuan memberi nafkah[12].
Adapun bagi orang yang merasa telah memiliki kemampuan melakukan poligami dan telah yakin dapat berlaku adil, maka seharusnya mengikuti adab-adab poligami sebagai berikut :
1.      Mengikhlaskan niat
2.      Mempersiapkan diri, seorang suami yang hendak menikah lagi harus mempersiapkan beberapa hal, antara lain :
a)      Persiapan mental
b)      Persiapan intelektual
c)      Persiapan Materi
d)     Persiapan Keluarga
e)      Tidak melakukan kebohongan dalam proses
f)       Memperhatikan tujuan pernikahan dalam islam
3.     Hendaklah melakukan musyawarah dan istikharah[13].
Memang mengenai prosedur resmi yang diatur oleh islam tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia dengan Kompilasi hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut :
Pasal 55
1.      Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan ,terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2.      Syarat utama beisteri lebih dari seseorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3.      Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seseorang.
Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan :
1.    Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2.    Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975
3.    Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dan Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian pada pasal 57 disebutkan bahwa Pengadilan Agama hanya akan memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
1.      Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan
   Sedangkan pada pasal 58 disebutkan :
1.    Selain syarat utama yang disebut pada pasala 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama,harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
a.    Adanya persetujuan Istri
b.    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka..
2.    Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
3.    Persetujuan dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperluakan bagi seorang suami apabil a istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tida kdapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi[14].       



D.   Hikmah Poligami
1.    Bahwa wanita itu mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas dan keadaan yang belum betul-betul sehat selepas melahirkan. Jadi, dalam keadaan begini, Islam membolehkan berpoligami sampai empat orang isteri dengan tujuan kalau tiap-tiap isteri ada yang haid, ada yang nifas dan ada pula yang masih sakit sehabis nifas, maka masih ada satu lagi yang bebas. Dengan demikian dapatlah menyelamatkan suami daripada terjerumus ke jurang perzinaan pada saat-saat isteri berhalangan.
2.  Untuk mendapatkan keturunan karena isteri mandul tidak dapat melahirkan anak,  Atau karena isteri sudah terlalu tua dan menopouse serta tidak lagi memiliki gairah seksual sedangkan suami memiliki libido seks yang luar biasa sehingga tentulah poligami menjadi solusi. Dalam pemilihan calon isteri, Islam menyukai wanita yang dapat melahirkan keturunan daripada yang mandul, walaupun sifat-sifat jasmaniahnya lebih menarik. Ini dijelaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya yang bermaksud, "Perempuan hitam yang mempunyai benih lebih baik dari wanita-wanita cantik yang mandul."
3.  Akibat peperangan yang biasanya melibatkan kaum lelaki, maka jumlah wanita akan lebih banyak baik mereka itu masih gadis anak yatim maupun janda.Dengan adanya poligami diharapkan mereka dapat diselamatkan serta diberi perlindungan.
4. Kerana banyaknya kaum telaki yang berhijrah pergi merantau untuk mencari rezeki. Di perantauan, mereka mungkin kesepian baik ketika sehat maupun sakit.Jika memang si suami tidak ingin menyakiti istri pertamanya dalam saat-saat yang demikian berpoligami dengan meminta izin kepada istri pertamanya adalah lebih baik daripada si suami mengadakan hubungan secara tidak sah dengan wanita lain.
5.   Untuk memberi perlindungan dan penghormatan kepada kaum wanita dari keganasan serta kebuasan nafsu kaum lelaki yang tidak dapat menahannya. jika poligami tidak diperbolehkan, kaum lelaki akan menggunakan wanita sebagai alat untuk kesenangannya semata-mata tanpa dibebani satu tanggungjawab. Akibatnya kaum wanita akan menjadi simpanan atau pelacur yang tidak dilayan sebagai isteri serta tidak pula mendapatkan hak perlindungan untuk dirinya.
6.  Untuk menghindari kelahiran anak-anak yang tidak sah agar keturunan masyarakat terpelihara dan tidak disia-siakan kehidupannya. Dengan demikian dapat pula menjamin sifat kemuliaan umat Islam. Anak luar nikah mempunyai hukum yang berbeza dari anak yang dari pernikahan yang sah. Jika gejala ini dibiarkan berleluasa dan tidak ditangani dengan hati-hati ia akan bakal menghancurkan umat Islam dan merosakkan fungsi pernikahan itu sendiri.
7.  Ikut menyelesaikan masalah telat nikah yang mulai merebak di tengah masyarakat, karena  jumlah wanita yang siap menikah jauh lebih banyak daripada lelaki yang siap menikah
8.  Mengurangi penyimpangan moral di tengah masyarakat yang timbul karena pergaulan bebas,wanita yang memamerkan auratnya,dan kaum lelaki yang lemah iman yang belum menemukan kepuasan dengan istri pertamanya karena kemampuan seksnya lebih besar dari pelayanan yang di berikan istrinya.

E.   Analisis Kelompok
Berdasarkan apa yang telah kelompok kami pelajari terkait dengan masalah poligami kami memperoleh kesimpulan bahwa poligami merupakan persoalan umat yang selalu menimbulkan pro dan kontra dari zaman ke zaman. Satu kelompok menjadikannya poligami sebagai salah suatu fasilitas Allah dan bahkan disunnahkan. Sedangkan yang kontra menganggap poligami sebagai suatu tindakan yang tidak adil terhadap relasi suami isteri karena konsep itu telah memposisikan perempuan secara rendah sehingga penyatukan hak-hak kesamaan dalam keluarga dan kehidupan terabaikan Teks-teks al-Qur'an dan al hadits disertai ayat-ayat yang kontradiksi seringkali menjadi bahan perdebatan utama.
Seseorang yang hendak melakukan poligami seharusnya mempertimbangkan dengan matang alasan , tujuan dan dampaknya bagi diri sendiri serta kehidupan keluarganya terkait pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan, apakah selama menjalankan poligami ia dapat berlaku adil atau tidak. Menurut pendapat kelompok  kami pada dasarnya poligami sah-sah saja untuk dilakukan, akan tetapi harus memenuhi syarat dan prosedur yang berlaku baik dalam hukum agama maupun hukum negara, meskipun demikian masih banyak warga negara khususnya laki-laki yang tidak mengindahkan hal itu. Kami melihat persoalan poligami itu sendiri sebagai persoalan umat yang bersifat khilafiyah, sehingga harus disikapi secara bijak. Terlepas dari mana yang benar dan mana yang salah, antara kelompok yang pro dan yang kontra terhadap poligami, hendaknya kita tidak terlalu mempersoalkan perbedaan itu. Karena para mufasirpun mempunyai tafsiran yang berbeda-beda tentang hal tersebut, selain itu nabipun pernah bersabda bahwa perbedaan adalah rahmat. Sehingga  sebagai umatnya tidaklah pantas apabila kita terus menerus memperdebatkan dan bahkan menjadikannya sebagai alat yang menyebabkan perpecahan diantara umat islam.

PENUTUP

     Kesimpulan dari pembahasan megenai poligami,yaitu :
·         Poligami sejatinya merupakan bentuk perkawinan dimana didalamnya mempunyai pasangan lebih dari satu, Sementara istlah yang berkembang di dalam masyarakat ini sebenarnya adalah poligami dalam bentuk poligini terbatas. Karena poligami sendiri mempunyai 3 bantuk, yaitu poligini, poliandri dan komunisme sosial.
·         Pemahan yang berbeda-beda terhadap ayat yang menjadi landasan teologis poligami menyebabkan perbedaan dalam menyikapinya sehingga ada pihak yang pro dan ada yang kontra.
·         Kontroversi mengenai poligami sendiri sudah terjadi sejak lama dan pembahasannya bagaikan laut tak bertepi.
·         Adapun bagi seseorang yang mau melakukan poligami harus memenuhi syarat-syarat tertentu baik mengikuti syarat menurut Islam maupun syarat yang diberlakukan oleh negara yang didiaminya. Di Indonesia sendiri hal tersebut sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
·        Dalam memandang wacana mengenai poligami sendiri ada banyak bagian yang perlu  diperhatikan baik dari dampak yang diakibatkan maupun hikmah dari pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kodir, Faqihuddin, Memilih Monogami, Jogjakarta, LKiS Pelangi Aksara,2005
Al-Habsyi, M.Bagir, Fiqih Praktis, Bandung, Mizan, 2002.
Faqih, Khazin Abu, Poligami Solusi dan Masalah, Jakarta, Mumtaz, 2006.
Ghazaly, Abdul Rohman, Fiqh Munakahat,Jakarta, Prenada Media, 2003.
Hasan, M.Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta,Siraja Prenada Media Group, 2006.
Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, Monogami dan Poligami dalam Islam, Jakarta,  PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Kurnia,Eka, Poligami Siapa Takut?, Jakarta Selatan, QultumMedia, 2007
Mulia,Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Muthahari, Murtadha, Duduk Perkara Poligami, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Republik Indonesia, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Citra Umbara, 2007.
Rodli Makmun,dkk, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, Surabaya, STAIN Ponorogo Press, 2009.
Saebani,Beni Ahmad, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang, Bandung, Pustaka Setia, 2008.




[1] Rodli Makmun,dkk, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur  (Surabaya: STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm.15
[2] Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut?, (Jakarta Selatan: QultumMedia, 2007), hlm.1.
[3] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.44.
[4] Rodli Makmun,dkk, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur  hlm.16.
[5] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hlm.45-48.
[6] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Jogjakarta: ELSAQ Press,2004), hlm.425.
[7] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hlm.93.
[8] Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami, (Jogjakarta:  LKiS Pelangi Aksara,2005), hlm.xvii-xviii .

[9] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hlm.93.
[10] Ibid.hlm.103
[11] Ibid.hlm.98-100.
[12] Khazin Abu Faqih, Poligami Solusi dan Masalah  (Jakarta: Mumtaz, 2006), hlm104
[13] Ibid.hlm.115-112.
[14] Republik Indonesia, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), hlm. 246-248.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar