POLIGAMI
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai
poligami adalah bicara mengenai hubungan
perkawinan yang memiliki pasangan lebih dari satu, baik dari pihak laki
laki maupun perempuan. Poligami itu sendiri terbagi menjadi tiga yaitu
poligini, poliandri dan pernikahan kelompok (group marriage). Berbeda dengan
apa yang diketahui oleh kebanyakan orang bahwa islam adalah ajaran agama yang
mengusung poligami, padahal pada dasarnya poligami lahir jauh sebelum
kedatangan islam. Beberapa hal yang harus di pertimbangkan seseorang boleh
berpoligami atau tidak sangat berkaitan erat dengan alasan, tujuan, syarat dan
prosedur, hikmah, serta dampak yang mungkin di timbulkannya.
Poligami senantiasa
menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak, Hal ini disebabkan beberapa faktor
diantaranya yaitu perbedaan dalam menafsirkan teks teks al quran dan alhadits.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan di bahas berbagai hal terkait poligami
agar kita dapat mengetahui pokok pokok yang selama ini di perdebatkan banyak
pihak dan mampu bersikap lebih bijak dalam menyikapi persoalan umat yang
bersifat khilafiyah.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani.Secara Etimologis poligami
merupakan derivasi dari kata "apolus" yang berarti banyak dan
"gamus" yang berarti istri atau pasangan.Sedangkan Secara
Terminologis poligami adalah seorang suami yang memiliki isteri lebih dari
seseorang dimana berdasarkan jumlah pasangannya bukan jumlah pernikahannya[1].Sementara
istilah poligami inilah yang berkembang di masyarakat sekarang ini. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia poligami diartikan sebagai suatu sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan[2].Salah
satu pihak dalam artian diatas bisa berarti pelakunya adalah si suami atau si
isteri.
Kebalikan dari poligami adalah monogami yaitu sistem pernikahan
yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka
waktu tertentu.Istilah lainnya adalah monogini. Dalam realitas sosiologis yang
terjadi di masyarakat monogami lebih banyak dipraktekan karena sesuai dengan
tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan
kedamaian.[3]
Sedangkan Poligami sendiri mempunyai 3 bentuk,yaitu :
1.
Poligini
,yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria beristeri lebih dari
satu orang.
2.
Poliandri,
yaitu sistem perkawinan dimana seorang isteri mempunyai lebih dari satu orang
suami.
3.
Komunisme
seksual(Group Marriage) yaitu pernikahn kelompok yang mnerupakan gabungan dari
poligini dan poliandri.
Menurut Hanry Pratt Fairchild istilah poligami yang berkembang
dalam masyarakat kita sekarang ini kurang pas dan lebih tepat jika disebut
dengan poligini[4].
Sedangkan dalam Islam sendiri pada dasarnya yang diperbolehkan adalah poligami
dalam bentuk poligini terbatas. Namun karena sudah menjadi hal yang umum maka
untuk selanjutnya apa yang dimaksud penyusun dengan poligami dalam makalah ini adalah poligami dalam bentuk
poligini terbatas.
Selain dalam penggunaan istilah banyak juga orang yang salah paham
tentang asal-usul poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah
Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang Poligami, bahkan
ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, Poligami tidak
dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru dan
menyesatkan. Mahmud Syaltut (w.1963) Ulama besar asal mesir secara tegas
menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam dan juga menolak bahwa
poligami ditetapkan oleh syari’ah.
Berabad-abad sebelum islam diwahyukan,masyarakat diberbagai belahan
dunia telah mengenal dan mempraktekan poligami .Poligami dipraktekan secara
luas dikalangan masyarkat Yunani,Persia dan Mesir kuno.Di Jazirah Arab sendiri jauh
sebelum Islam, masyarakatnya telah
mempraktekan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa
rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit
kepala suku yang mempunyai ratusan isteri.
Sebagai agama yang sangat mementingkan keadilan, Islam datang
membawa perubahan-perubahan yang radikal dalam pelaksanaan Poligami. Perubahan
pertama , membatasi bilangan istri hanya sampai empat orang, Itupun hanya boleh
kalau suami mampu berlaku adil.Syarat ini dirasakan amat berat kalau tidak ingin
dikatakan mustahil dapat dipatuhi.Perubahan kedua, membatasi alasan poligami.
Poligami hanya dibolehkan semata-mata demi menegakan keadilan bukan dalam
rangka memuaskan nafsu biologis. Inipun ternyata lebih sulit dipahami.
Dengan demikian terlihat bahwa praktek poligami di masa Islam
sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada
dua hal. Pertama, pada bilangan Istri dari tidak terbatas jumlahnya menjadi
dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki pada
masa itu sudah terbiasa dengan banyak isteri. Lalu mereka disuruh memilih hanya
empat saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus
mampu berlaku adil,sebelumnya poligami itu tidak mengenal syarat
apapun.termasuk syarat keadilanAkibatnya poligami banyak membawa kesengsaraan
dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak
terikat pada keharusan berlaku adil,sehingga mereka berlaku aniaya dan
semena-mena mengikuti hawa nafsunya[5].
B.
Landasan
teologis
Ayat al-Qur'an yang membahas mengenai masalah poligami adalah
Qs.An-Nisa ayat 3:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
wa-in khiftum allā
tuqsiţū fī alyatāmā fainkihū mā thāba lakum mina alnnisā-i
matsnā watsulātsa warubā'a fa-in khiftum allā ta'dilū fawāhidatan aw mā
malakat aymānukum dhţŢȘșālika adnā allā ta'ūlū
Artinya
: Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Menurut para Mufassir dan ahli Fiqh ayat ini adalah dasar
dibolehkannya poligami karena didalamnya ada kalimat yang maknanya “kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu sukai, dua, tiga atau empat. Akan tetapi
seperi biasanya mereka telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan
keterkaitan erat yang ada diantara masalah poligami dengan janda yang memiliki
anak yatim.[6]
Padahal dengan menyimak susunan redaksinya saja kita dapat mengetahui secara
jelas bahwa ayat tersebut bukan anjuran untuk berpoligami melainkan lebih pada
memberikan solusi agar para wali terhindar dari berbuat tidak adil terhadap
anak yatim yang berada dalam perwalian mereka, yaitu dengan mengewini perempuan
lain saja.Ayat ini diturunkan dimadinah setelah perang uhud.Sebab pada perang
uhud kaum muslimin mengalami kekalahan maka banyak prajurit muslim yang gugur
di medan perang.Sehingga jumlah janda dan anak yatim meningkat drastis di
komunitas muslim. Yang mana tentu saja tanggung jawab anak yatim tersebut pada
akhirnya dilimpahkan kepada walinya.[7]
Kecenderungan mayoritas besar para ahli tafsir adalah jika seorang
laki-laki ingin berpoligami maka ia dibebaskan memilih perempuan yang mana saja
yang disenanginya, boleh perawan, boleh janda atau perawan dan janda. Sedangkan
Menurut Penafsiran Syahrur, an-nisā
(perempuan-perempuan) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah janda yang
mempunyai anak-anak yatim.Meskipun begitu ia tetap membolehkan poligami sampai
empat berdasarkan pertimbangan koteks sosialnya misalnya dalam koteks perang
dan jumlah laki-laki berkurang atau dengan kata lain jumlah perempuan lebih
banyak dari jumlah laki-laki.
Sedangkan menurut Faqihuddin Abdul Qodir, dengan mengutip
makna-makna ayat dari Imam Al-Qurthubi,terutama menyangkut kalimat : "Ma ţaba lakum min an-nisā." Ia
menafsirkannya sebagai perempuan-perempuan yang meneynangimu atau suka kepada
kamu. Tafsir ini menegaskan bahwa poligami tidak dapat dilakukan secara
sepihak,yakni atas kehendak laki-laki semata,melainkan perlu mempertimbangkan
hak perempuan, bahkan hak perempuan yang lebih utama. Dengan demikian orang
yang ingin berpoligami hendaknya memperhatikan hak-hak perempuan dan kerelaan mereka.[8]
Menurut M.Abduh disinggungnya persoalan poligami dalam konteks pembicaraan anak yatim bukan tanpa alasan. Hal ini memberikan pengertian
bahwa persoalan poligami identik dengan persoalan anak yatim. Kedua masalah
tersbut saling terkait karena mengandung masalah yang mendasar yaitu mengenai
ketidakadilan. Anak yatim sering sekali menjadi korban ketidakadilan karena
mereka tidak dilindungi, sementara di dalam poligami yang menjadi korban adalah
kaum perempuan. Kebolehan berpoligami merupakan sesuatu yang sangat sulit
mengingat beratnya syarat yang harus dipenuhi Poligami memang diharamkan atas
mereka yang mempunyai kekhawatiran tidak dapat berlaku adil apabila kawin lebih dari satu. Jika dilakukan
Akad dalam keadaan demikian maka akadnya dianggap fasid atau batal karena
keharamannya menjadi penghalang berlakunya akad.[9]
Abduh menambahkan jika diamati ayat diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa poligami merupakan persoalan yang sangat pelik dan berat. Tampaknya
poligami hanya dibolehkan pada oangyang sangat membutuhkan dengan syarat
meyakini kemampuan dirinya berlaku adil dan aman dari berbuat dosa. Menurutny
Poligami terlah dipraktikan secara melaus oleh kaum muslimin generasi terdahulu
tetapi kemudian berkembang menjadi praktek pemuasan syahwat yang tak
terkendali, tanpa rasa keadilan dan kemanusiaan, sehingga tidak lagi kondusif
bagi kesejahteraan masyarakat . Atas dasar pertimbangan kesejahteraan dan
kemaslahatan masyarakat, Abduh akhirnya menyimpulkan perlunya penghapusan
Poligami dalam Islam[10]
Menurut Abu Ja’far ,sebagai mana dikutip Rasyid Ridla ayat tersebut
berisi peringatan yang keras terhadap agar bersikap hati-hati dan adil, baik
terhadap anak yatim maupun terhadap perempuan. Karena itu janganlah mengawini
anak yatim kecuali jika tidak ada kekhawatiran terjerumus kedalam perbuatan
aniaya dan dosa.tatapi jika takut berbaut dosa maka kawinilah perempuan lain
sebanyak satu samapai empat.tatapi sekali lagi jika takut maka cukup kawini
satu orang saja. Kalau dipiki-pikir
penjelasan diatas mengandung dua kseimpulan ;Pertama, para wali jangan
mengawini anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka agar terhindar dari dosa. Kedua , para suami jangan
melakukan poligami akag terhindar dari dosa. Sementar ia juga menambahkan bahwa
poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan karena pada
dasarnya perkawinan itu adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan.
Poligami hanyalah untuk kondisi darurat , misalnya dalam peperangan, tetapi
juga disertai dengan syarat yang ketat., yaitu tidak boleh mengandung unsure
dosa dan ketidakadilan.
Menurut Qurais Shihab, ia menggarisbawahi bahwa ayat tersebut tidak
memuat peraturan tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dipraktekan
oleh syartiat agama dan tradisi sebelum Islam. Ayat ini juga tidak mewajibkan
poligami atau menganjurkannya ,melainkan berbicara tentang bolehnya poligami,
dan itupun hanya pintu darurdat kecil yang boleh dilalui saat amat diperlukan
dan dengan syarat yang tidak ringan.
Qasim Amin membenarkan bahwa ayat tersebut selintas mengandung
kebolehan poligami, tatapi sekaligus juga ancaman bagi pelaku poligami. Pada
hakekatnya suami ayng akan berpoligami sudah tahu bahwa dirinya, sesuai dengan
ayat ini , sebenarnya tidak akan mampu berbuat adil. Jadi, sebelum melakukan itu
,dirinya sebetulnya telah diliputi oleh rasa takut. Karena itu kebolehan
poligami hanya ditunjukan pada orang-orang tertentu yang yakin bahwa dirinya
tidak akan terperosok kedalam perilaku tidak adil, dan yang tahu soal ini adalah
hanya dirinya dan Tuhan.[11]
C.
Syarat
dan Prosedur Poligami
Islam membolehkan kaum laki-laki menikah dengan lebih dari satu
istri. Akan tetapi kebolehan ini dibatasi dengan beberapa syarat yang harus
dipenuhi. Jika tidak terpenuhi, maka pelakunya berdosa. Walaupun menurut
sebagian ulama pernikahannya sah. Adapun syarat-syaratnya yaitu :
1.
Yakin
mampu berlaku adil terhadap para istri dalam hal pembagian bermalam dan nafkah.
Seorang muslim yang melakukan poligami, sementara dia yakin bahwa
dirinya tidak mampu menerapkan keadilan terhadap isteri-isterinya, maka
sesungguhnya ia telah melakukan dosa besar dihadapan Allah dan terhadap mereka.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم قَالَ : ( مَنْ كَانَتْ لَهُ اِمْرَأَتَانِ , فَمَالَ إِلَى
إِحْدَاهُمَا , جَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ ) رَوَاهُ
أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَة
ُDari
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Barang siapa memiliki dua orang istri dan ia condong kepada
salah satunya, ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuh miring."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat
2.
Memiliki
kemampuan financial, yaitu kemampuan memberi nafkah secara adil kepada
para istri. Sebab kalau seseorang tidak memiliki kemampuan memberi nafkah,maka
ia akan menelantarkan hak-hak orang lain.
Disamping syarat ini juga dilandasi beberapa alasan antara lain :
a)
Kemampuan
memberi nafkah merupakan konsekuensi perintah mempergauli isteri dengan secara
makruf.
b)
Terdapat
banyak teks yang memerintahkan para suami untuk memberi nafkah kepada
isteri-isterinya dan ancaman bagi mereka yang menelantarkan keluarganya.
"cukuplah
dosa seseorang yang menelantarkan orang yang dia tanggung " (HR Abu Daud
dari Abdullah bin 'Amr r.a)
c)
Hak-hak
isteri menegaskan kewajiban suami untuk
mempunyai kemampuan memberi nafkah[12].
Adapun bagi orang yang merasa telah
memiliki kemampuan melakukan poligami dan telah yakin dapat berlaku adil, maka
seharusnya mengikuti adab-adab poligami sebagai berikut :
1.
Mengikhlaskan
niat
2.
Mempersiapkan
diri, seorang suami yang hendak menikah lagi harus mempersiapkan beberapa hal,
antara lain :
a)
Persiapan
mental
b)
Persiapan
intelektual
c)
Persiapan
Materi
d)
Persiapan
Keluarga
e)
Tidak
melakukan kebohongan dalam proses
f)
Memperhatikan
tujuan pernikahan dalam islam
Memang mengenai prosedur resmi yang
diatur oleh islam tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia dengan
Kompilasi hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut :
Pasal 55
1.
Beristeri
lebih dari satu orang pada waktu bersamaan ,terbatas hanya sampai empat orang
isteri.
2.
Syarat
utama beisteri lebih dari seseorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
3.
Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari seseorang.
Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan :
1.
Suami
yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.
2.
Pengajuan
permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana
diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975
3.
Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dan
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian
pada pasal 57 disebutkan bahwa Pengadilan Agama hanya akan memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
1.
Istri
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.
Istri
tidak dapat melahirkan keturunan
Sedangkan pada pasal 58 disebutkan :
1.
Selain
syarat utama yang disebut pada pasala 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin
pengadilan Agama,harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5
Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
a.
Adanya
persetujuan Istri
b.
Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka..
2.
Dengan
tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b peraturan pemerintah No.9 Tahun
1975, persetujuan istri atau istri istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
3.
Persetujuan
dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperluakan bagi seorang suami apabil a
istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tida kdapat menjadi
pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau
istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian hakim.
Pasal
59
Dalam hal istri tidak memberikan persetujuan dan permohonan izin
untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan
di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi[14].
D.
Hikmah
Poligami
1. Bahwa wanita itu
mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas dan keadaan yang belum betul-betul
sehat selepas melahirkan. Jadi, dalam keadaan begini, Islam membolehkan
berpoligami sampai empat orang isteri dengan tujuan kalau tiap-tiap isteri ada
yang haid, ada yang nifas dan ada pula yang masih sakit sehabis nifas, maka
masih ada satu lagi yang bebas. Dengan demikian dapatlah menyelamatkan suami
daripada terjerumus ke jurang perzinaan pada saat-saat isteri berhalangan.
2. Untuk mendapatkan
keturunan karena isteri mandul tidak dapat melahirkan anak, Atau karena isteri sudah
terlalu tua dan menopouse serta tidak lagi memiliki gairah seksual sedangkan suami memiliki libido
seks yang luar biasa sehingga tentulah poligami menjadi solusi. Dalam pemilihan calon isteri, Islam menyukai wanita yang dapat
melahirkan keturunan daripada yang mandul, walaupun sifat-sifat jasmaniahnya
lebih menarik. Ini dijelaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya yang bermaksud,
"Perempuan hitam yang mempunyai benih lebih baik dari wanita-wanita cantik
yang mandul."
3. Akibat peperangan yang
biasanya melibatkan kaum lelaki, maka jumlah wanita akan lebih banyak baik
mereka itu masih gadis anak yatim maupun
janda.Dengan adanya poligami diharapkan mereka dapat
diselamatkan serta diberi perlindungan.
4. Kerana banyaknya kaum telaki yang berhijrah pergi merantau untuk
mencari rezeki. Di perantauan, mereka mungkin kesepian baik ketika sehat
maupun sakit.Jika memang si suami tidak ingin
menyakiti istri pertamanya dalam saat-saat yang demikian
berpoligami dengan meminta izin kepada istri pertamanya adalah lebih baik daripada si suami mengadakan hubungan secara tidak sah dengan
wanita lain.
5. Untuk memberi
perlindungan dan penghormatan kepada kaum wanita dari keganasan serta kebuasan
nafsu kaum lelaki yang tidak dapat menahannya. jika
poligami tidak diperbolehkan, kaum lelaki akan menggunakan wanita sebagai alat
untuk kesenangannya semata-mata tanpa dibebani satu tanggungjawab. Akibatnya
kaum wanita akan menjadi simpanan atau pelacur yang tidak dilayan sebagai
isteri serta tidak pula mendapatkan hak perlindungan untuk dirinya.
6. Untuk menghindari kelahiran anak-anak yang
tidak sah agar keturunan masyarakat terpelihara
dan tidak disia-siakan kehidupannya. Dengan demikian dapat pula menjamin sifat
kemuliaan umat Islam. Anak luar nikah mempunyai hukum yang berbeza dari anak
yang dari pernikahan yang sah. Jika gejala ini dibiarkan berleluasa dan tidak
ditangani dengan hati-hati ia akan bakal menghancurkan umat Islam dan
merosakkan fungsi pernikahan itu sendiri.
7. Ikut menyelesaikan masalah telat nikah yang mulai merebak
di tengah masyarakat, karena
jumlah wanita yang siap menikah jauh lebih banyak daripada lelaki yang siap menikah
8. Mengurangi
penyimpangan moral di tengah masyarakat yang timbul karena pergaulan
bebas,wanita yang memamerkan auratnya,dan kaum lelaki yang lemah iman yang
belum menemukan kepuasan dengan istri pertamanya karena kemampuan seksnya lebih
besar dari pelayanan yang di berikan istrinya.
E.
Analisis Kelompok
Berdasarkan apa yang telah kelompok kami
pelajari terkait dengan masalah poligami kami memperoleh kesimpulan bahwa
poligami merupakan persoalan umat yang selalu menimbulkan pro dan kontra dari
zaman ke zaman. Satu kelompok
menjadikannya poligami sebagai salah suatu fasilitas Allah dan bahkan
disunnahkan. Sedangkan yang kontra menganggap poligami sebagai suatu tindakan
yang tidak adil terhadap relasi suami isteri karena konsep itu telah
memposisikan perempuan secara rendah sehingga penyatukan hak-hak kesamaan dalam
keluarga dan kehidupan terabaikan Teks-teks al-Qur'an dan al hadits disertai
ayat-ayat yang kontradiksi seringkali menjadi bahan perdebatan utama.
Seseorang yang hendak melakukan poligami seharusnya
mempertimbangkan dengan matang alasan , tujuan dan dampaknya bagi diri sendiri
serta kehidupan keluarganya terkait pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan,
apakah selama menjalankan poligami ia dapat berlaku adil atau tidak. Menurut
pendapat kelompok kami pada dasarnya
poligami sah-sah saja untuk dilakukan, akan tetapi harus memenuhi syarat dan
prosedur yang berlaku baik dalam hukum agama maupun hukum negara, meskipun
demikian masih banyak warga negara khususnya laki-laki yang tidak mengindahkan
hal itu. Kami melihat persoalan poligami itu sendiri sebagai persoalan umat
yang bersifat khilafiyah, sehingga harus disikapi secara bijak. Terlepas dari
mana yang benar dan mana yang salah, antara kelompok yang pro dan yang kontra
terhadap poligami, hendaknya kita tidak terlalu mempersoalkan perbedaan itu.
Karena para mufasirpun mempunyai tafsiran yang berbeda-beda tentang hal
tersebut, selain itu nabipun pernah bersabda bahwa perbedaan adalah rahmat.
Sehingga sebagai umatnya tidaklah pantas
apabila kita terus menerus memperdebatkan dan bahkan menjadikannya sebagai alat
yang menyebabkan perpecahan diantara umat islam.
PENUTUP
Kesimpulan dari
pembahasan megenai poligami,yaitu :
·
Poligami
sejatinya merupakan bentuk perkawinan dimana didalamnya mempunyai pasangan
lebih dari satu, Sementara istlah yang berkembang di dalam masyarakat ini
sebenarnya adalah poligami dalam bentuk poligini terbatas. Karena poligami
sendiri mempunyai 3 bantuk, yaitu poligini, poliandri dan komunisme sosial.
·
Pemahan
yang berbeda-beda terhadap ayat yang menjadi landasan teologis poligami
menyebabkan perbedaan dalam menyikapinya sehingga ada pihak yang pro dan ada
yang kontra.
·
Kontroversi
mengenai poligami sendiri sudah terjadi sejak lama dan pembahasannya bagaikan
laut tak bertepi.
·
Adapun
bagi seseorang yang mau melakukan poligami harus memenuhi syarat-syarat
tertentu baik mengikuti syarat menurut Islam maupun syarat yang diberlakukan
oleh negara yang didiaminya. Di Indonesia sendiri hal tersebut sudah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam.
·
Dalam
memandang wacana mengenai poligami sendiri ada banyak bagian yang perlu diperhatikan baik dari dampak yang
diakibatkan maupun hikmah dari pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kodir,
Faqihuddin, Memilih Monogami, Jogjakarta, LKiS Pelangi Aksara,2005
Al-Habsyi,
M.Bagir, Fiqih Praktis, Bandung, Mizan, 2002.
Faqih, Khazin
Abu, Poligami Solusi dan Masalah, Jakarta, Mumtaz, 2006.
Ghazaly, Abdul
Rohman, Fiqh Munakahat,Jakarta, Prenada Media, 2003.
Hasan, M.Ali, Pedoman
Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta,Siraja Prenada Media Group, 2006.
Jamilah Jones
dan Abu Aminah Bilal Philips, Monogami dan Poligami dalam Islam,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Kurnia,Eka, Poligami
Siapa Takut?, Jakarta Selatan, QultumMedia, 2007
Mulia,Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Muthahari, Murtadha, Duduk Perkara Poligami, Jakarta, PT
Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Republik
Indonesia, Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Bandung, Citra Umbara, 2007.
Rodli
Makmun,dkk, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, Surabaya, STAIN
Ponorogo Press, 2009.
Saebani,Beni Ahmad, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang, Bandung, Pustaka Setia, 2008.
[1] Rodli Makmun,dkk, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur (Surabaya: STAIN Ponorogo Press, 2009),
hlm.15
[2] Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut?, (Jakarta Selatan:
QultumMedia, 2007), hlm.1.
[3] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
hlm.44.
[4]
Rodli
Makmun,dkk, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur hlm.16.
[6]
Muhammad
Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Jogjakarta: ELSAQ
Press,2004), hlm.425.
[8] Faqihuddin
Abdul Kodir, Memilih Monogami, (Jogjakarta: LKiS Pelangi Aksara,2005), hlm.xvii-xviii .
[10]
Ibid.hlm.103
[11]
Ibid.hlm.98-100.
[12]
Khazin
Abu Faqih, Poligami Solusi dan Masalah (Jakarta: Mumtaz, 2006), hlm104
[13]
Ibid.hlm.115-112.
[14]
Republik
Indonesia, Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
(Bandung: Citra Umbara, 2007), hlm. 246-248.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar